Sssttt!

14.5K 1.9K 22
                                    

“Tam ini udah pas semuanya, kan?” tanyaku seraya memindai bunga mawar yang ada di atas pick up.

Tama mengacungkan jari jempolnya. “Udah Bu Bos! Tadi gue sama Ruben udah hitung semuanya ada 5000 tangkai.”

Aku mengangguk mengerti. “Good. Kalian udah hubungin pegawainya Liana Wong, kan? Buat koordinasi nanti di sana bakal gimana?” tanyaku memastikan.

“Udah, Mbak, kemaren Mas Deeka udah koordinasikan semua. Sekarang tinggal jalan aja,” jawab Ruben yang sontak membuatku mengangguk-anggukkan kepala.

Lalu aku masuk ke dalam untuk mengambil dua bungkus bubur ayam yang tadi sengaja aku beli sebelum berangkat ke Istana Bunga. Aku memberikan bubur yang dibungkus sterofom itu kepada Tama dan Ruben.
“Nih, sebelum jalan kalian makan dulu. Nanti hati-hati nyetirnya nggak perlu buru-buru. Terus kalo ada masalah langsung hubungin gue.”

“Siap, Bu Bos! Kalo gitu kita berangkat dulu, ya! Ini Mas Deeka udah di lokasi,” jelas Tama seraya naik ke dalam mobil pick up. Lalu pria itu membunyikan klakson sekali sebelum meninggalkan pelataran Istana Bunga.

Setelah mobil pick up yang dikendarai Tama menjauh, aku segera masuk ke dalam Istana Bunga. Senyuman Robbi langsung menyambutku begitu tubuhku melewati pintu. “Makasih bubur ayamnya, Mbak! Udah emang asli enak, ditambah gratis pula. Sumpah, enaknya jadi seratus kali lipat! Besok lagi ya, hihi!”

“Yeu dasar nggak tahu diri!”

“Iri aja lo Mei-Mei! Ya, realistis ajalah. Di jaman fotokopi lima ratus tapi bayar parkirnya dua ribu, siapa sih yang nggak suka gratisan? Ngaku deh lo juga suka, kan?”

“Iyadah, ngomong sama Mr. Ogah Rugi mah memang susah. By the way, xie-xie bubur ayamnya, Mbak! Sering-sering begini kalo bisa,” ujar gadis itu cengengesan.

Robbi mencibir. “Noh, coba liat siapa yang lebih nggak tahu diri!”

“Halah bacot!”

Aku hanya geleng-geleng kepala saat melihat tingkah kedua pegawaiku itu. “Yaudah gue ke atas dulu, ya.”

“Mbak lo mau ikut kencan buta sore ini?”

“Kencan buta?”

“Iya, di Olivers kayak tahun lalu. Buat have fun aja,” ujarnya seraya mengedipkan satu mata.

Aku mengangguk mengerti. “Tahun ini gue skip ya, Sel. Soalnya gue udah ada janji blind date sendiri.”

“Wah ... setelah Babang Djiwo yang ganteng itu, sekarang siapa yang mau Nyonya besar jodohin sama lo?” tanya Sela menggoda.

Aku tersenyum misterius. “Ra-ha-sia. Udah ya gue ke atas dulu!”

Setelah mengatakan itu aku langsung naik ke atas untuk menuju ruanganku. Meja Cakra masih kosong, mungkin pria itu masih di jalan. Sesampainya di ruanganku aku memilih langsung menyantap bubur ayam untuk sarapan. Baru saja aku hendak menyuapkan suapan ke limaku, tiba-tiba pintu ruanganku dibuka dengan buru-buru dari luar.

Cakra menaruh beberapa lembar kertas di atas meja. “Itu laporan dari Kalina yang kemarin Mbak Anya suruh saya print. Kalina juga bilang kalo pupuk di kebun Bogor hampir habis, jadi mungkin butuh tambahan beberapa karung,” info pria itu seraya menatap tajam netraku.

“Oke, nanti saya hubungi Kalina setelah makan siang. Ada lagi?”
Cakra menyondongkan kedua tangannya ke meja, pria itu juga menyondongkan wajahnya ke wajahku membuatku sontak memundukan kepala untuk menjaga jarak. “Saya udah bahas ini kemarin, Cakra. Kalo di tempat kerja saya tetap bos kamu. Jadi sebaiknya kamu menjaga sikap!” seruku tegas.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang