Stalker Sejati

14K 2K 37
                                    

“Serius nggak papa aku ikut ke sini?” tanyaku sekali lagi.

Hari ini Cakra mengajakku pergi ke Klik yang merupakan sebuah bangunan dua lantai yang disewa para anggota komunitas fotografer untuk saling berkumpul.

“Nggak papa santai aja. Lagian pasti nggak ada orang kok kalo siang bolong begini. Palingan cuma ada Bang Norman sama Deva aja di dalem. Yuk masuk!”

Setelah itu kami berdua pun segera turun dari mobil dan memasuki rumah bercat abu-abu itu. Sesampainya di dalam kami langsung disambut kulit kacang yang bertebaran di lantai. Cakra menggelengkan kepala seraya menatap dua orang yang tengah tiduran di sofa dengan headset yang menggantung di telinga masing-masing.

“Astaga, Bang! Bisa-bisanya Klik kalian jadiin kandang babi. Kalo ketahuan sama Bang Ganesha mampus lo berdua diceramahin gimana penyakit panu, kadas, dan kurap menyebar di dunia ini.”

Pria yang lebih kurus membuka headset yang menyumbat telinganya lalu mengajak Cakra bertos ria. “Hoi, apa kabar, Bro? Somse deh sekarang nggak pernah mampir. Widih bawa cewek! Siapa? Pacar?” tanyanya dengan senyum menggoda.

“Hoi, Bang! Iya kerjaan gue lagi rada hectic akhir-akhir ini. Kabar gue baik, kok. Lo gimana? Iya kenalin ini Sonya pacar gue, hehe.”

“Kabar gue juga baik, kok. Hai Sonya kenalin gue Norman,” ujar Norman seraya mengulurkan tangannya dan aku pun langsung menyambut uluran tangan pria itu seraya menyebutkan namaku sendiri.

Setelah itu kami bertiga berbasa-basi sebentar untuk lebih mengenal satu sama lain. Dengan pemandangan Deva yang tengah ngorok di sofa.
“Yaudah gue ke atas ya, Bang. Mau ambil foto yang kemaren gue titipin. Jangan lupa beresin nih rumah. Kalo Bang Ganesha dateng mampus lo dapet siraman rohani.”

Lalu Cakra pun segera mengajakku ke lantai atas setelah mengatakan itu. Sesampainya di lantai dua kami pun langsung menghampiri pintu di baris pertama. Dengan gerakan perlahan Cakra membuka pintu tersebut dan aku langsung melongo begitu melihat apa yang ada di dalam sana.

“Wow...,” ujarku kagum seraya memindai banyak foto yang digantung seperti jemuran. Sepertinya ini adalah tempat bagi para anggota komunitas mencuci foto hasil jepretan mereka.

“Sini masuk!” seru Cakra seraya menuntunku memasuki pintu tersebut. Sebuah pintu yang akan aku sebut sebagai pintu ajaib, karena begitu aku masuk ke sana aku seperti masuk ke dunia lain.

Lalu Cakra memberiku sebuah album foto yang baru saja ia ambil dari dalam lemari. “Kejutanmu.”

Aku menerima album pemberian Cakra lalu membukanya dengan gerakan perlahan. Sontak aku langsung tertegun begitu melihat isi album foto tersebut. Sebab ternyata album foto itu berisi semua fotoku yang diambil Cakra secara candid.
Ada fotoku saat di acara ulang tahun Istana Bunga, pernikahan Kirana, saat melamun di kantor, saat menyiram bunga, dan saat aku merangkai bunga untuk pelanggan. Album foto itu terisi penuh oleh fotoku dan di dalam foto itu aku terlihat cantik. Astaga ... sejak kapan aku bisa tersenyum seperti itu?
“Kamu benar-benar stalker sejati ya, Ta?”

Cakra tertawa renyah lalu membelai pipi sampai sudut bibirku dengan lembut. “Ya, terserah kamu mau anggap aku apa. Yang jelas aku cuma mau mengabadikan setiap senyuman kamu. Cantik.”

“Ya, again, mulut bocah jaman sekarang memang manis-manis.”

“Ini aku serius. Bukan lagi gombal atau apa, Sayang. Senyuman kamu memang cantik.”

Baru saja aku ingin merespons perkataan Cakra, teriakkan dari lantai bawah mengintrupsi. Membuatku terpaksa menelan kembali semua kalimat yang ingin aku utarakan.

“Man, Dev, kalo mau jadi babi jangan di sini kampret!” omel seseorang yang suaranya begitu familiar di telinga. Ah, itu suara Ganesha.

“Astaga iya Pak Dokter ini juga lagi gue bersihin kulit kacangnya!”

“Heran gue sama kalian berdua. Kok, bisa sih tidur nyenyak di tempat kotor begini. Gimana kalo kalian kena scabies atau leptospirosis? Diri sendiri juga yang repot!” omel Ganesha lagi.

Dan aku dapat membayangkan ekspresi Ganesha yang super songong itu dari atas sini. Sepupu kampretku itu kalau sudah ceramah soal kesehatan memang kadang bikin kesal setengah mati. Scabies, scabies! Bilang aja kudis! Kan males kalau lagi dongkol dipaksa sambil mikir juga!

“Yaelah, G, ini juga lagi gue bersihin. Mata lo liat, kan?”

“Makanya selalu utamakan kebersihan tiap waktu. Nggak usah kalo mata gue liat doang! By the way, si Cakra jadi ke sini?”

“Jadi. Si Cakra ke sini sama pacarnya. Mereka ada di atas. Udah sana lo minta pejeh aja ke Cakra. Budek kuping gue dengerin lo ceramah lama-lama.”

“Ini juga demi kebaikan lo sendiri, Man!”

“Iye, buset!”

Lalu tak terdengar lagi perdebatan di bawah sana. Tergantikan dengan langkah kaki menaiki tangga yang membuatku panik setengah mati. Dengan gerakan kilat aku pun menarik tangan Cakra untuk bersembunyi. Kami bersembunyi dibalik lemari.

“Sorry, Ganesha bakal berisik banget kalo tahu kita pacaran,” lirihku seraya menggigit bibir bawahku.

Cakra mengelus bibirku lembut. “Iya, aku tahu.”

Mendengar pintu yang dibuka dari luar sontak aku langsung memeluk tubuh Cakra. Pria itu juga balik memelukku hingga kini tubuh kami saling menempel. Netra legam Cakra membuatku tak bisa berpaling ke mana pun. Kegelapan itu seolah melahapku perlahan, lalu entah siap yang memulai lebih dulu, kini bibir kami saling berpagut saling melumat dengan ritme yang begitu lembut.

“Yakin si Cakra sama pacarnya ada di lantai dua, Man? Kosong begini!”

“Hah? Masa nggak ada sih, G!”

“Ya, lo kesini deh liat sendiri! Mimpi kali ya lo?”

“Gue nggak mimpi kampret! Kalo gue mimpi itu mobil di depan punya siapa emang?” tanya Norman gregetan.

“Tapi serius mereka nggak ada di sini!” teriak Ganesha lagi.

“Ke atap kali!” sahut Norman.
Lalu diiringi sahut-sahutan antara Ganesha dan Norman kami masih tetap berciuman. Membiarkan endorfin, dopamin, dan adrenalin diproduksi berlebihan. Sudah lama jantungku tidak berdebar-debar sekencang ini.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang