Why Do You Love Me?

15.5K 2.2K 44
                                    

Semua perkataan Kirana benar. Cinta bukan sesuatu yang bisa aku kendalikan. Sekuat apa pun aku menolak, sekeras apa pun aku berusaha melupakan, tetap saja perasan itu tidak mudah hilang. Sebenarnya ini tidak adil, kita bisa jatuh cinta pada seseorang hanya satu detik pada pandangan pertama, tapi melupakan selalu membutuhkan tenaga ekstra. Ya, tapi memangnya sejak kapan dunia ini adil?

Cinta juga sepaket dengan patah hati. Sedangkan cemburu ialah bumbu lain yang membuat hati terasa ngilu. Ada yang bilang kalau kita berani jatuh cinta, sudah berarti harus siap patah hati karena itu konsekuensi. Namun, siapa yang siap untuk patah? Tentu bukan kita semua. Namun terkadang semua memang sebanding dengan rasa sakitnya, jadi mungkin mencoba bukanlah hal yang buruk atau sia-sia.

Ya, akhirnya aku menyerah. Aku lelah terus mendorong Cakra menjauh, aku lelah terus berpura-pura jika perasaanku pada Cakra hanya ilusi belaka. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil kesempatanku dan membiarkan Cakra menggenggam tanganku erat.

“Ta, gimana kalo akhirnya semua prediksiku benar? Kalo hubungan kita nggak berhasil?” tanyaku seraya mendongak untuk melihat wajah Cakra.

Cakra menghentikan langkahnya dan menatapku dengan pandangan sebal. “Anya, kita baru jadian sehari dan kamu udah bahas soal akhir hubungan ini. Kamu nggak niat buat jadiin aku sad boy yang diputusin dalam sehari, kan?”

“No, aku nggak mau putus dari kamu hari ini. Aku belum mau lepasin tangan kamu. Soalnya tangan kamu rasanya hangat,” ujarku seraya tersenyum simpul.

Cakra balas tersenyum dan mengecup tanganku yang ada di genggamannya. “Makanya malem ini genggam aja tanganku. Nggak usah mikir macem-macem.”

“Oke, malem ini ayo pacaran aja.”
Setelah itu aku dan Cakra kembali berjalan bersisian menuju supermarket terdekat untuk berbelanja.

***

“Kamu yakin bisa masak? Nggak mau pesen online aja?” tanyaku seraya mengamati Cakra yang tengah sibuk dengan kantong belanjaan di dapur.

Cakra menggulung kemejanya hingga siku. “Sekarang kamu boleh ngeraguin kemampuan masak aku. Tapi nanti kalo udah makan nggak boleh nambah, ya?” tanya pria itu dengan wajah cemberut. Astaga lucu sekali pacarku itu.

“Oke, aku diem,” sahutku seraya terbahak.

Lalu aku bertumpu dagu dengan tangan kanan seraya mengamati Cakra yang sedang memasak. Sepertinya pria itu memang sudah terbiasa dengan wajan dan spatula, terlihat dari gerakannya yang sangat lihai saat menggunakan kedua benda tersebut.

“Kamu lebih suka nasi goreng pake kecap apa nggak pake kecap?”

Aku berdeham pelan, bermaksud mengusir senyum idiot yang sejak tadi bertengger di wajahku. “Pake kecaplah. Emang ada orang yang suka nasi goreng nggak pake kecap?” tanyaku dengan kening berkerut.

“Luna nggak suka,” jawab pria itu kembali fokus dengan masakannya.
Sedangkan aku langsung dongkol setengah mati saat mendengar Cakra menyebut nama teman masa kecilnya itu.

“Oh,” sahutku datar.

Lalu aku memutuskan untuk berkeliling kosan Cakra untuk mengusir bad mood yang tiba-tiba menyerang. Aku takut rasa cemburu kembali membuatku bertindak tidak masuk akal seperti tadi siang, jadi lebih baik aku menjauh dari Cakra sampai perasaanku lebih baik.

“Mau ke mana?” tanya Cakra saat pria itu melihatku meninggalkan area dapur.

“Keliling. Siapa tahu kamu punya barang berharga yang bisa aku colong.”

“Barang berharga di rumah ini cuma satu dan udah kamu curi, Anya. Jadi kamu nggak bakal nemuin apa-apa lagi.”

“Emangnya apa yang udah aku curi?” tanyaku dengan kening berkerut.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang