Yes, Love....

16.8K 2.2K 37
                                    

Aku menghidu aroma vanila yang menusuk hidung dalam-dalam. Ah, aroma ini selalu membuatku merasakan deja vu. Dan tumben sekali Ganesha memakai parfum ini, apa pria itu akan kencan dengan Miranda?

Aku memijit kepalaku yang terasa berat, sialan efek sake yang aku minum tadi siang masih terasa. Dengan perlahan aku membuka kedua netraku dan pasti aku masih bermimpi sekarang, karena saat ini aku bisa melihat Cakra tersenyum manis seraya berbaring di sampingku.

Dan apa aku mulai gila sehingga melihat Miranda dengan wujud Cakra? Sebenarnya berapa botol sake yang aku minum sehingga aku bisa berhalusinasi begini? Atau ini gara-gara aku terlalu merindukan pacarku itu?

"Hai, Love. Aku tahu aku emang ganteng, tapi kamu nggak perlu liatin aku kayak gitu," ujar Cakra seraya mengecup pipiku lembut.

"Ta, ini kamu?" tanyaku dengan netra membelalak.

"Iya, ini aku, Sayang. Kamu lagi nggak mimpi."

Aku cemberut karena mengingat pria itu mengabaikan aku seharian ini. "Ngapain kamu di sini? Dan gimana kamu bisa masuk?"

"Aku di sini karena pacar aku kangen tapi gengsi. Terus aku bisa masuk karena Bang Ganesha ngijinin, dengan syarat harus tanggung jawab karena pacarku berantakin apartemennya. So-"

"Jadi, maksud kamu dia jadiin kamu babu? Sialan si Ganesha! Awas aja nanti kalo ketemu! Di mana dia?"

"Kayaknya pergi sama Mbak Miranda, soalnya dia belum ngoceh padahal aku udah nungguin kamu tidur dari satu jam lalu."

"Ngapain? Bukannya kamu marah sama aku?"

"Memang."

"Yaudah sana pulang aja, nggak usah di sini!"

Cakra memelukku erat. "Terus biarin kamu minum sake lagi gara-gara kangen? Ngapain? Padahal kamu bisa langsung bilang kalo kangen."

"Kayak kamu bales chat sama angkat telepon aku aja," sindirku.

Cakra melepas pelukannya, tapi tangan kirinya masih melingkari tubuhku. "Gimana, enak nggak diabaikan? Sedih kan rasanya nggak didengerin sama yang disayang? Itu yang aku rasain beberapa hari ini."

"Kamu masih marah masalah kencan buta?"

"Iya, kesel banget sampai kepalaku mau pecah. Nah, daripada kita komunikasi tapi ujung-ujungnya berantem mending aku nahan kangen bentar. Tapi keliatan kan siapa yang lebih kangen?" goda Cakra seraya mengelus pipiku yang aku yakin sudah memerah sekarang.

"Kamu nyebelin!" Lalu air mataku mengalir di kedua pipi. Semua rasa sesak, kesal, dan cemburu meluap saat ini juga. "Kamu tahu nggak, sih? Kamu itu nyebelin banget, Cakra. Aku nggak suka kamu deket sama Luna, aku nggak suka kamu nggak bales chat aku, dan nggak angkat telepon aku. Aku nggak suka karena nggak tahu apa-apa tentang kamu," ujarku terbata-bata karena dibarengi isakan.

Cakra memajukan tubuhnya dan kembali membawaku ke pelukannya. Lalu aku pun menangis di pelukan pria itu dan membiarkan kaos Cakra basah oleh ingus dan air mataku. Cakra mengelus punggungku tanpa menyela apa-apa, ia mengizinkan aku terus menangis dan mengoceh tanpa membantah sama sekali.

Aku melepaskan pelukan pria itu sehingga wajah kami berjarak dua jengkal. "Aku juga nggak suka karena kangen tapi nggak bisa bilang. Kangen kamu," isakku.

Cakra mengecup kedua mataku lembut. "Kangen kamu juga. Dan, Love, dengerin aku. Kalo kamu punya pertanyaan apa pun yang bikin kamu nggak nyaman, langsung tanya aja. Aku pasti bakal jawab semuanya karena aku emang nggak pengen nyembunyiin apa pun dari kamu."

"Tapi ini bakal nggak adil, Ta. Karena aku nyembunyiin sesuatu dari kamu."

"Hey, kalo masalah ini kan aku udah bilang dari awal, kalo aku bakal nunggu sampai kamu siap cerita. Jadi, nggak usah merasa terbebani atau malah bikin kamu kepikiran. Take your time, Love. I'll wait. Aku nggak bakalan ke mana-mana. Jadi, apa sih yang dari kemarin ganggu kepalaku kamu ini, hmm?"

"Ta...."

"Yes, Love...."

Aku menggigit bibir bawahku. "Kamu ada hubungan apa sama Luna?" tanyaku akhirnya.

"Luna sama aku udah temenan dari kecil, Sayang. Dan misal aku memang punya perasaan sama dia, pasti dari dulu aku udah berusaha dapetin dia. Tapi sayangnya aku nggak ngerasain itu, so, sampai saat ini aku masih nganggep dia sebagai sahabat. Aku tahu Luna suka sama aku, dan aku nggak bisa ngelakuin apa pun soal hal itu. Perasaan dia biar jadi urusannya. Karena yang aku tahu, aku cintanya sama kamu, dan hal itulah yang akan selalu jadi urusan aku."

"Beneran? Nggak pernah suka sama sekali?" tanyaku memastikan. Sebenarnya jawaban Cakra sudah membuat aku cukup lega, hanya saja aku ingin membuat semuanya jelas sekarang, sehingga masalah soal ini tidak akan jadi masalah lagi di masa depan.

"Iya beneran. Jujur aku sayang Luna, tapi lebih kayak rasa sayang ke adik."

"Terus kenapa kamu kabur dari rumah?"

Cakra terkekeh sebentar sebelum menjawab, "Sebagai anak satu-satunya hidupku dari kecil udah diatur sana sini sama Papa. Sampai akhirnya setahun lalu aku sama Papa bikin kesepakatan, Papa selalu ngeraguin aku bisa hidup sendiri tanpa bantuan dia. Emang agak culas dan kepedean banget! Liat nih buktinya aku bisa. Sampai akhirnya kemarin Papa ke sini buat mengakui kekalahan dan minta tolong. Perusahaan butuh aku karena Papa udah harus banyak istirahat gara-gara jantungnya bermasalah. Katanya, kalau memang bentar lagi meninggal, lebih baik dipelukan Mama daripada kursi direktur."

"Your father love your mom so much."

"Ya, Papa memang bucin sejati."

"Jadi, kapan kamu bakal balik ke Singapura?"

"Mungkin minggu depan," jawab pria itu.

Aku mengangguk mengerti lalu aku memajukan badan dan masuk ke pelukan Cakra. Dan pria itu langsung memelukku erat. Penjelasan Cakra membuatku amat sangat lega, benar kata Miranda, semua memang bakal selesai kalau kita membicarakannya dengan kepala dingin.

"Ta ... Gimana kalo seminggu ini kamu pindah ke apartemen aku?"

"Apa ini merupakan bonus aku sebelum aku memutuskan resign? Tentu aja jawabannya yes, Bos! Mana mungkin aku nolak bonus yang banyak untungnya ini," candanya yang sontak membuatku tersenyum lebar. Dasar bocah satu ini!

Aku menjauhkan kepalaku dari dada Cakra, lalu mencium bibir pria itu lembut. Yang langsung disambut sama lembutnya oleh pria itu. Untuk beberapa saat bibir kami saling bertautan-untuk merayakan segala rindu yang meledak-ledak di dada dan renjana yang berpesta pora dalam jiwa.

Lalu kami menjauhkan wajah kami dengan senyuman super lebar di bibir masing-masing. "Ta, aku punya dongeng super membosankan dan amat sangat panjang. Dongeng ini nggak punya ending yang bahagia. Tetap mau dengar?"

Tanpa ragu Cakra menganggukkan kepala. Dan cerita kelam itu pun mengalir tanpa jeda, tapi anehnya segala ketakutanku tak pernah terjadi-karena aku justru lega luar biasa.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang