Hurt

14.2K 2K 48
                                    

Siang ini aku, Sela, Robbi, Desi, dan Cakra memutuskan untuk makan bersama di warung bakso yang tidak jauh dari Istana Bunga. Warung bakso ini lesehan sehingga kami berlima duduk di lantai berhadap-hadapan. Aku duduk di samping Cakra, sedangkan Sela, Robbi, dan Desi duduk di depan kami.

“Mbak Anya sekali lagi terima kasih traktirannya.”

“Iya sama-sama. Dan terima kasih juga karena udah bekerja dengan baik.”

“Terima kasih kembali Bu Bos!” seru mereka serentak.

Tak lama kemudian akhirnya bakso pesanan kami disajikan. Lalu kami semua makan dengan lahap karena perut sudah keroncongan.

“Eh, Mbak, gimana kencan buta lo Minggu lalu?” tanya Sela setelah mengelap bibirnya dengan tisu.

“Gagal total,” jawabku jujur.

“Oke, nggak usah sedih Bu Bos! Minggu ini Olivers juga ngadain kencan buta. Join, yuk? Nggak usah dibawa serius-serius amat. Buat have fun aja!”

“Heh! Sembarang aja lo Mei-Mei! Lo pikir perasaan manusia itu bisa seenaknya aja di mainin? Buat have fun aja your head! Sekali aja, Sel, coba kencan serius dan nggak usah main-main terus.”

“Siapa pun jin waras yang merasuki Robbi cepetlah keluar. Hus-hus sana! Nggak cocok lo jadi manusia bener, Rob!”

Tetapi kali ini Robbi hanya menanggapi ucapan Sela dengan mengangkat kedua bahu tak acuh. Aneh sebenarnya melihat Robbi enggan berdebat dengan Sela. Tetapi aku paham, di posisi mencintai tanpa dicintai balik memang sangat menyulitkan.

“Gimana, Mbak, join nggak?” tanya Sela lagi.

“Oke,” jawabku pada akhirnya.

Dan aku tahu jika Cakra tidak setuju dengan keputusanku. Karena saat ini pria itu tengah menatapku tajam. Aku mungkin sudah terbuka soal hubunganku dengan Cakra pada Kirana dan Ganesha. Namun tetap saja aku belum siap membuka hubungan kami dengan orang-orang kantor.

Setelah kenyang makan bakso kami semua pun segera kembali ke Istana Bunga. Sesampainya di Istana Bunga aku dan Cakra langsung naik ke lantai dua bersama. Cakra menarikku masuk ruangan lalu mengurungku di antara tubuhnya dan pintu.

“Ta—“

“Ya, Bu Bos saya masih inget semua peraturan yang Anda buat,” ujar Cakra penuh penekanan. “Tapi, Anya, bukannya kali ini kamu udah kelewatan? Aku paham kencan buta waktu itu buat bantuin Ganesha. Tapi yang ini kamu nggak harus ikut, kan?”

“Ta, kita udah setuju backstreet. Aku nggak mungkin nolak ajakan Sela dua kali karena itu malah bikin curiga.”

“Kalo gitu ayo terbuka aja. Dari awal aku juga nggak suka opsi pacaran diem-diem begini.”

“Kita beda tujuh tahun!” pekikku dengan suara naik satu oktaf.

Cakra menyugar rambutnya ke belakang dengan frustrasi. “Aku nggak peduli tentang umur! Udah berulang kali aku bilang tentang ini!”

“Ya, kamu emang nggak peduli. Tapi aku peduli! Kamu pikir apa tanggapan orang-orang kalo tahu aku pacaran sama kamu? Pasti mereka ngira aku cewek putus asa kurang belaian yang suka ngerayu anak baru gede!”

Selain takut Cakra meninggalkanku setelah tahu masa laluku, perbedaan usia di antara aku dan Cakra juga sering membuatku insecure dan overthinking. Aku selalu takut menghadapi reaksi orang-orang jika tahu aku dan Cakra menjalin sebuah hubungan. Kirana dan Ganesha mungkin bisa lebih toleran, tapi tidak semua orang seperti mereka berdua.

Jika hubunganku dan Cakra menyebar ke publik, aku pasti bakal menjadi bahan gunjingan para karyawan. Belum lagi tatapan penuh penghakiman saat orang-orang melihat kami berdua kencan. Seolah memilih berpacaran dengan orang yang lebih tua adalah sebuah dosa besar. Aku sudah cukup jengah hanya dengan membayangkannya saja, jujur aku tidak butuh lagi tambahan beban.
Belum lagi reaksi para kerabatku jika tahu hubungan kami. Pasti mereka semua bakal heboh dan menceramahiku macam-macam. Misalnya; berkencan dengan lelaki yang lebih muda bukan hal yang tepat. Sebab aku lebih butuh sosok dewasa sebagai pendamping daripada bocah ingusan.

Mungkin juga bakal tersebar berita aneh soal aku yang putus asa karena ngebet kawin. Sehingga menyewa gigolo di sebuah club malam. Perawan tua sepertiku begitu sulit mendapat pria seumuran, bagaimana bisa yang lebih muda justru tertarik? Yakin kamu nggak pakai susuk atau guna-guna, Nya? Percayalah menjadi wanita yang belum menikah di usia tiga puluhan itu sulit sekali. Seolah kamu adalah sebuah kegagalan tak peduli seribu pencapaian yang sudah kamu dapatkan.

“Kamu nggak perlu dengerin apa kata orang. Yang ngejalanin hubungan kita, bukan mereka!”

“Kamu enak bicara gitu karena kamu nggak ngerasain gimana rasanya jadi aku!”

Ketukan di pintu membuat Cakra menelan kembali apa yang baru saja ingin ia katakan. Aku menarik napas dalam—menghapus air mata yang mengalir di pipi—lalu mengembuskannya perlahan.

Setelah emosi yang bergejolak di dada mereda aku pun mengizinkan orang yang mengetuk pintu untuk masuk. “Ya, masuk!” seruku seraya duduk di kursi kebesaranku. Cakra segera undur diri begitu Desi masuk ke ruanganku. Sebenarnya mungkin Desi merasakan suasana tak enak di antara aku dan Cakra, tapi gadis berkacamata itu lebih memilih pura-pura tidak tahu saja.

“Ada apa, Des?”

Desi mendekat ke arahku dan mulai membeberkan laporan penjualan satu minggu terakhir. Dan aku mendengarkan laporan Desi dengan suasana hati yang berantakan.

***

Cakra sudah pulang saat aku membuka pintu sehingga kami tidak sempat bertatap muka lagi. Jam pulang kantor memang sudah lewat lima belas menit lalu, jadi wajar saja jika pria itu kini sudah tidak ada di mejanya. Apalagi ia tengah kesal denganku sehingga mungkin ia ingin menghindariku. Ya, aku tahu kami berdua memang kekanakan.

Sebab perutku sudah keroncongan, aku pun memutuskan untuk membeli dimsum di tempat langgananku. Tetapi gerakanku membuka pintu mobil terhenti saat aku melihat Cakra tengah membantu Luna berjalan ke dalam restoran Cina itu dengan hati-hati. Sontak pemandangan itu membuat dadaku sesak.

Perutku yang tadinya lapar mendadak kenyang sehingga aku memutuskan kembali menjalankan mobil dan meninggalkan parkiran restoran.
Jujur saja saat ini perasaanku semakin tak karuan. Apa saat ini waktunya bom waktu yang kami bawa meledak? Cih, harusnya sejak awal aku tahu, berkencan seharusnya tidak pernah lagi aku lakukan sejak kejadian tiga belas tahun lalu.
Apalagi Dimas juga terus-terusan menerorku. Membuat rantai-rantai itu semakin mencekik leherku dengan erat.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang