Sunrise

13.6K 2K 40
                                    

Aku menutup mulutku yang tengah menguap lalu merapikan rambut yang menutupi wajah. Bangun dari tiduran aku pun langsung duduk menyender di kepala ranjang Cakra. Semalam aku memang memutuskan untuk menginap di kosan pacarku itu. Kejadian kemarin benar-benar membuat aku kalut luar biasa.

Aku butuh tempat melarikan diri sekaligus berhenti. Dan aku sangat bersyukur karena Cakra selalu ada di sini.

Aku mengikat rambutku dengan ikat rambut yang ada di nakas. Sontak aku langsung memfokuskan pandangan ke arah pintu saat mendengar suara khas derit pintu yang dibuka. Aku tersenyum pada Cakra dan pria itu langsung membalas senyumanku seraya berjalan mendekat.

“Hei, udah bangun?” ujarnya seraya mengecup puncak kepalaku lembut.

“He-em, baru aja bangun. Thanks, karena udah mau nampung aku lagi tadi malam.”

“Anytime, Love. Kamu boleh nginep di sini kapan pun kamu mau. Kapan pun kamu butuh tempat melarikan diri atau pun tempat untuk berhenti. Kamu tahu pintu tempat ini bakal selalu terbuka buat kamu.”

“Thanks,” sahutku seraya tersenyum kecil.

“You are welcome, Sayang. By the way, I wanna show you something. Follow me.”

Lalu aku pun mengikuti langkah Cakra keluar kamar. Pria itu menuntunku untuk naik ke rooftop. Begitu sampai di rooftop aku langsung melongo karena baru kali ini aku melihat pemandangan seindah ini. Langit penuh bintang dan senyum bulan sabit yang menghias cakrawala. Serta lampu dari gedung-gedung tinggi Jakarta yang terlihat seperti ribuan kunang-kunang yang menghiasi seluruh kota.

“Suka?” tanya Cakra seraya menggelar tikar di tengah atap.

“Wow ... aku baru tahu kalo Jakarta pagi hari ternyata seindah ini,” ujarku seraya mengikuti Cakra duduk lesehan di tikar.

“Ini baru permulaan. Tunggu sampai kamu liat matahari terbit di antara pencakar langit.”

Lalu pria itu merebahkan diri dengan kedua tangan sebagai alas. Aku pun mengikuti Cakra tiduran dan pria itu langsung berinisiatif menjadikan tangan kanannya sebagai bantalan.
“Jangan protes kalo nanti tangan kamu pegel.”

Cakra terkekeh lalu mengacungkan jari jempolnya. “Siap!”

Untuk beberapa saat kami tiduran dengan pemandangan langit pagi yang penuh bintang. “Kamu lebih suka bulan atau bintang?”

Aku terdiam sejenak untuk berpikir. “Aku lebih suka bintang.”

“Kenapa?” tanya pria itu seraya menolehkan kepalanya ke arahku.
Aku ikut menolehkan kepala ke arah Cakra. Sehingga kini wajah kami sangat dekat. Hangatnya napas pria itu yang menerpa wajahku sangat kontras dengan udara pagi yang dingin. Jujur saja aku suka posisi kami sekarang. Hangat.

“Karena aku lebih suka Twinkle-Twinkle Little Star daripada Fly Me To The Moon,” candaku yang sontak membuat kami tertawa bersama. Tawa kami menggelegar di atap. Andai aku punya kemampuan untuk menghentikan waktu walau sejenak, maka aku akan memilih momen saat ini untuk aku bekukan.

Saat akhirnya matahari mulai muncul di ufuk timur, aku pun langsung bangkit dari tiduranku dan netraku terpaku pada matahari yang terbit di antara pencakar langit. Pemandangan saat ini sangatlah indah.

Cakra pun langsung meraih kameranya dan mengatur lensa sebelum pria itu menjepret sunrise di depan sana. Pria itu terlihat seksi saat sedang memotret dan tanpa sadar senyum simpul terbit di bibirku.

“Ta, kamu lebih suka sunrise atau sunset?”

“Aku suka dua-duanya. Tapi aku paling suka sunrise, karena matahari terbit itu menunjukkan hari baru. Kehidupan baru yang harus dijalani lagi sebaik mungkin. Kesempatan baru yang nggak boleh disia-siakan.”

“So, menurut kamu setiap orang punya kesempatan itu? Menikmati hari baru tanpa terbelenggu masa lalu? Meski kesalahan yang dulu dia lakukan sangat fatal?”

“Tentu. Kita nggak sempurna, Nya. Kita bikin kesalahan dan kita harus menerima fakta kalo kita nggak bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya. Tapi kita semua selalu punya pilihan dan pilihan itu ada di tangan kita sendiri. Aku nggak bakal menyalahkan kamu kalo kamu memilih untuk menghukum diri kamu sendiri. Tapi aku harap ... kamu memilih untuk bahagia. Anya-nya aku harus selalu bahagia.”

***

Setelah melihat sunrise kami memutuskan untuk membuat sarapan bersama. Kali ini kami memilih telur dadar untuk sarapan. Aku bertugas memotong berbagai bahan campuran untuk telur seperti daun bawang, cabai, bawang merah, dan sosis. Sedangkan Cakra bagian mengocok telur sekaligus menggorengnya.

“Sayang, please, pulangnya agak siang, oke?” bujuk Cakra sekali lagi.

“Sorry, aku udah ada janji nemenin Kirana nyari bubur sumsum biar anak dia nggak ngeces. Padahal aku tahu banget kalo dia cuma lagi ngerjain aku,” sahutku dengan bibir cemberut.

“Oke, kalo lawan orok fix aku kalah, deh. Tapi nanti aku anterin, ya?”

“Oke,” jawabku seraya menganggukkan kepala.

Akhirnya telur dadar yang dimasak Cakra matang. Kami pun segera makan bersama untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Setelah makan aku pun segera pamit pulang karena Kirana sudah menerorku sejak tadi.

Seperti janji Cakra tadi, pria itu pun bersiap mengantarku. Kini kami berdua sudah masuk ke dalam mobil dengan Cakra yang duduk di kursi kemudi. Tetapi saat pria itu bersiap melajukan mobil, tiba-tiba gawainya berbunyi. Sehingga ia kembali mematikan mesin mobil dan segera mengangkat telepon yang masuk.
Saat menerima telepon wajah Cakra berubah pucat pasi. Membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

“Ada masalah?” tanyaku setelah Cakra mematikan teleponnya.

“Luna kecelakaan. Dia keserempet motor pas lagi jogging. Sekarang dia ada di rumah sakit. Kaki dia retak. Gimana kalo lukanya parah. Gimana kalo—“

Aku menggenggam tangan Cakra bermaksud menenangkan. “Kamu tenang, oke? Luna bakal baik-baik aja. Aku yakin.”

Cakra memejamkan matanya. Lalu ia membuka seat belt yang membungkus tubuhnya. Kini ia sudah jauh lebih tenang. “Sorry, kayaknya aku nggak bisa nganterin kamu pulang. Aku harus ke rumah sakit sekarang. Kamu nyetir sendiri nggak papa, kan?” tanya pria itu dengan suara gemetar. Menunjukkan ia tengah panik setengah mati.

“Iya, nggak papa aku bisa pulang sendiri.”

Cakra mengecup keningku lama. “Yaudah aku pergi, ya? Nanti aku hubungin kamu.”

Setelah itu Cakra keluar dari mobil dan segera menghadang taksi yang lewat di depan kosannya. Meninggalkan aku yang menatap punggung pacarku itu dengan tatapan nanar dan berbagai perasaan yang berkecamuk di dada.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang