He Makes Me Crazy

17.2K 2.5K 21
                                    

Berulang kali aku mengetuk meja seraya sesekali melirik jam dinding yang menggantung di tembok depan sana. Waktu terus berjalan dan Cakra sama sekali belum menunjukkan batang hidungnya. Membuatku memijat pelipis yang mendadak pening.

Astaga, dasar si tengik itu!
Padahal kemarin aku sudah bilang jam masuk kerja dipercepat tiga puluh menit karena ada rapat bulanan, tapi sampai sekarang si cerewet itu belum datang juga. Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku. Itu bocah satu tidak kenapa-kenapa, kan? Walau cerewet setengah mati, tapi Cakra bukan orang yang suka terlambat.

Rasa khawatir itu menusuk jantungku dengan brutal, membuatku segera menggeleng seraya meremas pinggiran meja hingga ujung-ujung jariku memutih. Tidak, aku tidak boleh mempunyai perasaan ini, tapi aku tidak dapat membohongi diriku sendiri kalau rasa hangat itu tidak memberikan efek apa-apa pada hatiku yang telah lama beku. Astaga ... padahal itu hanyalah sebuah genggaman tangan.

Aku segera mengalihkan pandangan saat mendengar pintu ruang rapat dibuka dari luar. Terlihat Cakra berdiri di depan pintu dengan napas ngos-ngosan dan keringat yang tampak mengalir di dahi hingga leher. Pria itu seperti habis dikejar anjing gila.

Cakra mendekat ke arahku dan mengeluarkan beberapa dokumen dan sebuah flashdisk dari dalam tasnya. "Ini laporan keuangan bulan ini yang dititipin Mbak Desi kemarin," ujar pria itu cepat masih dengan napas ngos-ngosan. Bahkan, tangannya sedikit gemetaran.

"Ta-"

"Iya, Mbak, saya tahu saya salah karena hari ini saya datang terlambat. Tapi sumpah deh saya nggak lupa kalo hari ini ada rapat bulanan dan harus masuk tiga puluh menit lebih awal. Sumpah, tadi dari kosan saya berangkat jam setengah enam biar hari ini nggak telat. Tapi sialnya di prapatan depan ada kecelakaan. Jadi, jalanan macet dan terpaksa saya harus muter arah karena nggak bisa lewat. Abang O-jeknya juga udah lewat jalan tikus, tapi ternyata nggak kekejar sampai jam 7 dan saya masih telat juga. Sekali lagi saya minta maaf karena hari ini datang terlambat, Bos."

Aku memberikan selembar tisu pada pria itu. "Nih, elapin dulu keringet kamu! Terus minum dulu, Ta! Saya nggak harus ambilin kamu minum juga, kan?"

Pria itu tersenyum kecil. "Makasih, Mbak," ujar Cakra seraya menerima tisu yang aku sodorkan. Lalu ia berjalan ke arah dispenser yang ada di pojok ruang dan meminum segelas air dalam sekali teguk.

"Kita mulai rapat," ujarku setelah Cakra menempati tempat duduk yang tersisa.

Akhirnya kami semua pun memulai rapat bulanan. Aku sesekali membuka dokumen seraya memperhatikan Desi yang tengah mempresentasikan laporan keuangan di depan sana. Aku mengangguk puas karena penjualan Istana Bunga meningkat 20% dari bulan lalu.

Aku menutup halaman terakhir dengan senyum puas. "Kerja bagus semuanya! Terima kasih karena kalian sudah bekerja dengan baik bulan ini. Oh ya, Rel, sepuluh ribu bunga mawar putih pesanana Mr. Tagaki buat minggu depan aman, kan?" tanyaku seraya menatap serius mata Farel.

Farel mengangguk mantap. "Sudah, Mbak, saya kemarin cek stok ke kebun di Bogor dan semua sudah siap. Tinggal dikirim minggu depan," jawab pria itu yang lagi-lagi membuatku tersenyum puas. Sejauh ini pekerjaan karyawanku memang selalu memuaskan dan aku sangat berterima kasih kepada mereka karena sudah bekerja dengan baik. Sepertinya aku harus menambah bonus mereka bulan ini.

"Bagus. Terus rawat semua bunga dengan baik dan pastikan dikirim dengan kualitas terbaik."

"Baik!"

Lalu aku menatap Desi. "Karena minggu depan bertepatan dengan pesta pernikahan Kirana, jadi gue nggak bisa ikut ke Jepang buat ketemu Mr. Takagi. Lo wakilin gue oke, Des?"

Desi mengangguk mantap. "Siap, Bu Bos!"

Aku menumpukkan kedua tangan di meja. "Oh ya, Rob, karena tiga hari lagi ulang tahun Istana Bunga yang ke lima, lo tolong infoin di grup kalo kita bakal makan malam buat perayaan. Jangan lupa kasih tahu semua karyawan yang ada di Bogor juga. Gue yang traktir."

"Siap, Mbak! Restoran Nusantara jam 19.00 WIB, kan?" tanya Robbi yang langsung aku respons dengan anggukan mengiyakan.

Cakra mengangkat tangannya. "Boleh saya ngasih saran, Mbak?" tanya pria itu yang membuat kami semua menatapnya.

"Ya, Ta?" tanyaku dengan kening berkerut.

Cakra berdeham pelan. "Gimana kalo ulang tahun Istana Bunga tahun ini kita rayain dengan pesta barbekuan? Halaman belakang cukup luas, kan? Terus kita juga bisa seru-seruan sambil ngadain lomba."

Robbi mengangguk antusias. "Boleh juga, tuh! Kita seru-seruan aja di halaman belakang. Terus ngadain lomba dengan berbagai doorprize kece. Tapi, Mbak, kalo traktiran di Restoran Nusantarannya tetep lanjut, saya juga nggak keberatan kok, hehe," tutur pria berambut keriting itu seraya cengengesan.

Sela melempar tisu yang sudah dibentuk bola kepada Robbi. "Yeu, itu mah maunya lo, Rob!"

"Heh, Mei-Mei! Kok, lo yang ribet, sih? Bu Bos aja nggak protes tuh!"

Sela hanya menanggapi ucapan Robbi dengan memutar bola mata malas, lalu ia ikut menatapku serius. "Tapi Bu Bos, gue juga setuju sama idenya Cakra. Pesta barbeku di halaman belakang sama bikin lomba-lomba gitu pasti seru. Sekalian healing-lah sekali-kali."

Akhirnya aku mengangguk setuju. "Boleh juga sih kalo mau ngadain pesta barbeku di halaman belakang. Lagian hari Kamis juga kebetulan tanggal merah. Tapi serius mau ngadain lomba? Tapi lomba apa?" tanyaku seraya mengerutkan kening.

Semua orang terdiam. Semuanya tampak tengah berpikir dengan serius. Hingga pendapat Cakra membuatnya kembali menjadi pusat perhatian. "Gimana kalo lomba kayak balap karung? Kelereng? Atau balon joget?" tanya bocah itu seraya menaikkan satu alisnya.

Aku menatap Cakra datar. "Kita nggak lagi ngerayain tujuh belasan," decakku tak setuju.

"Astaga, Bu Bos! Lomba kayak gitu nggak harus diadain pas acara tujuh belasan doang kali. Boleh juga ide lo, Bro. Gue sih setuju," sahut Robbi.

"Sama gue juga setuju!"

"Gue juga setuju!"

"Gue juga! Gue juga!" teriak karyawan lain dengan semangat. Binar antusias terlihat dalam netra mereka semua.

Aku hanya menatap seluruh karyawan Istana Bunga dengan pandangan tak percaya. "Kalian serius?" tanyaku memastikan.
Mereka semua tersenyum lebar seraya mengangguk mengiakan dan akhirnya aku setuju juga. Membuat semua karyawan berteriak antusias. Astaga ... memangnya mereka semua bocah? Tanpa sadar aku sudah menarik kedua sudut bibirku lebar.

"Oke, nanti gue share daftar lomba apa aja yang bisa kalian ikutin di grup kantor. Ta, lo jadi panitia sama gue nggak papa, kan?" tanya Robbi yang sontak membuat Cakra mengacungkan jari jempolnya.

"Oke, atur aja, Bro!" sahut pria itu.

Rapat akhirnya selesai, semua karyawan pun segera meninggalkan ruangan dan langsung mengerjakan pekerjaannya masing-masing. Sedangkan aku keluar paling akhir karena harus membereskan beberapa hal. Setelah urusanku selesai, aku juga segera meninggalkan ruang rapat.

"Mbak Sonya!" panggil Cakra seraya menahan lengan kananku. Dan itu tidak bagus untuk jantungku! Karena organ pemompa darah itu kini menggedor dada dengan brutal.

"Apa?" tanyaku seraya menatap lenganku yang dilingkupi jemari-jemari hangat Cakra.

"Kamu udah sarapan?" tanya pria itu yang hanya aku respons dengan gelengan, karena pagi ini aku memang hanya sempat minum segelas susu.


Bocah itu berdecak tak suka. "Sudah saya duga. Nanti makan dulu ya, Mbak? Tadi sebelum berangkat saya beliin bubur ayam Mang Dadang kayak kemarin. Lengkap sama sate usus tiga. Favorit kamu, kan?" tanya Cakra dengan senyum manis super sialan itu.

"Oke," jawabku cepat seraya memalingkan wajah. Senyum pria itu semakin membuat jantungku menggila!

Lalu kami berjalan beriringan naik ke lantai dua. Seperti biasa, selama di perjalanan aku disuguhi cerita heboh ala Cakra. Mungkin dulu di awal-awal aku benci saat si bocah tengik itu terus cerewet, tapi entah kenapa sekarang malah aku rasanya sudah terbiasa. Bahkan, sebelum tidur, terkadang aku suka mengingat kembali momen ini sambil tersenyum. Astaga ... aku pasti positif sakit jiwa!

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang