About Second Chance

17.2K 2.5K 25
                                    

Aku langsung mendesah lega begitu keluar dari ruang keluarga rumah Oma yang luas tapi menyesakkan itu. Lalu aku pun berjalan ke arah kolam renang karena aku yakin Ganesha kampret pasti minggat ke sana.
Aku membuka pintu kaca yang memisahkan rumah dengan kolam renang indoor di rumah Oma. Lalu aku mendekat ke arah kolam dan duduk di samping kolam dengan memasukkan setengah kakiku ke dalam air. Kolam renang yang tadinya tenang berubah menjadi sedikit berombak saat Ganesha membelah air dengan gaya bebas. Kemudian pria itu menyembulkan kepalanya di sampingku.

Ganesha menyugar rambut basahnya ke belakang sebelum melipat kedua tangannya di pinggiran kolam. “Lo keluar lebih cepet daripada perkiraan gue,” ujar sepupuku itu sambil terkekeh.

Aku memberengut. “Jahat lo, G, kalo mau kabur dari awal bilang-bilang, kek! Enek gue disuruh kawin mulu. Dikira gue kucing kali, ya? Bisa kawin sama siapa aja!” dengkusku seraya menggerakkan kakiku yang ada di dalam kolam.

“Jelas bukan, Nya. Kucing lucu kalo lo nggak.”

“Kampret!” makiku seraya menyipratkan air ke arah Ganesha dan sepupuku itu langsung berenang menjauh seraya tertawa keras.

“Hell! Tega lo, Nya! Tega-teganya lo ninggalin gue di kandang macan sendirian!” kesal Kirana seraya duduk di sampingku.

“Sorry, Sis, tadi gue udah dicabik-cabik sampai tinggal rangka. Gue mungkin bakal mati kalo tulang gue digrogotin juga. Gimana kuliah gratisnya? Udah tahu gimana cara menjadi istri yang baik dan benar?”

“Oh, jelas! Katanya kalo udah nikah gue harus jadi istri yang baik. Yang nurutin apa pun kata suami biar nggak jadi istri durhaka. Terus harus selalu cantik di rumah biar suami seneng. Harus bisa nyenengin suami biar suami nggak selingkuh. Lalu sebaiknya punya anak dua, pertama kalo bisa cowok kalo yang kedua cewek juga nggak papa. Karena anak cowok sama cewek itu udah ideal. Hell yeah! Emangnya gue Tuhan yang bisa nentuin jenis kelamin anak gue seenak jidat?” teriak Kirana frustrasi.

Aku terbahak seraya mengajak Kirana bertos ria. “Tos, kita senasib, Sis! Bahkan gue diingetin mulu kalo perempuan punya batas masa subur. Cepetan nikah Anya, rahim kamu punya masa kadaluwarsa. Mau nikah usia berapa? Emangnya nggak mau punya anak sendiri? Makanya jangan terlalu banyak ngasih kriteria cowok idaman. Tapi sialnya, cowok gue tetep harus memenuhi standar dan ekspektasi mereka semua. Oh, God! Tante-Tante lo pasti mabok micin!”

“Ngaca, Sister! Itu Tante-Tante lo juga!” seru Kirana yang sontak membuat aku terbahak.

Lalu aku melirik Ganesha. “Tapi kayaknya nasib kita nggak begitu buruk dibandingkan Ganesha. Sedih banget jadi dia, kayaknya di keluarga ini nggak ada yang nganggep dia cowok,” kataku seraya mengingat kejadian beberapa saat lalu.

“Sialan lo, Nya! Pokoknya gue nggak mau tahu, besok gantian lo yang bantuin gue!”

“Lo disuruh kencan buta lagi?”

“Ho-oh,” jawab Ganesha malas.

“Sama Dewina, G?” tanya Kirana yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Ganesha.

“Lo kenal?”

“Temen kuliah gue. Soalnya si Dewina juga nanya-nanya gitu soal lo kemarin. Menurut gue Dewina anaknya baik, G. Nggak pernah neko-neko juga.”

“Percaya aja, G. Kalo Kirana bilang gitu, berarti anaknya emang bener-bener baik. Dia kalo ngasih temen kencan buta pasti yang kualitasnya premium.”

“Kalo gitu, kenapa lo nggak bawa Djiwo hari ini?”

“Because ... I can’t, Na. Gue tahu ini terdengar gila. Kalian pasti nggak bakal percaya kalo gue bilang ... Djwo itu orang yang bakal dijodohin sama gue!”

“Serius lo?”

“Buat apa juga gue boong?”

“Jodoh kali lo sama dia,” ujar Kirana seraya menggeleng tak percaya.

Aku mengangkat kedua bahu tak acuh. “Djiwo teman ngobrol yang menyenangkan. Tapi lo tahu gue nggak minat sama pernikahan.”
Kirana mengelus bahuku lembut.

“Udah tiga belas tahun, Nya. Sekarang waktunya lo sembuh. Lo juga berhak bahagia, kalo emang ada yang menawarkan kebahagiaan itu, nggak ada salahnya lo kasih kesempatan.”

Gue yang nggak pantas dapet kesempatan itu, Na.

Aku hanya merespons ucapan Kirana dengan senyuman. “Gimana persiapan pernikahan lo?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. Aku benci membahas tentang ini, karena membuatku mengingat kejadian menyakitkan tiga belas tahun lalu.

“Bentar lagi beres. Tinggal fitting baju pengantin untuk yang terakhir kalinya dua hari lagi,” jelasnya seraya menggerakkan kakinya yang ada di dalam kolam.

Aku memeluk Kirana dari samping. “Nggak nyangka temen nonton Barbie gue waktu kecil bentar lagi kawin. Lo harus selalu bahagia ya, Na.”

Kirana membalas pelukanku. “Thanks, Sis! Lo juga harus bahagia, oke? Saatnya sembuh, Anya. Tiga belas tahun udah cukup buat lo ngehukum diri sendiri. Dia di atas sana pasti bakal sedih kalo ngeliat lo begini. Gue yakin, dia pasti pengen liat lo bahagia. Oh ya, gimana kalo kita kongkalikong? Besok pas gue lempar bunga, lo berdiri di sisi kiri, ya? Gue bakal lempar bunganya ke sana,” ujar sepupuku itu seraya mengedipkan mata kirinya.

“Deal!” sahutku seraya terbahak.
Aku segera mengalihkan pandangan ke arah Ganesha begitu Kirana melepaskan pelukan kami. “Oh ya, G, kapan gue jadi nyamuk di acara kencan buta lo?”

“Nanti gue kabarin lagi,” jawab sepupuku itu yang sontak aku respons dengan anggukan mengerti.
Laku aku dan Kirana segera masuk ke rumah karena udara malam semakin mengigit kulit bahkan sampai menembus tulang.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang