Welcome Home

23.3K 1.4K 116
                                    

“Dan kamu tahu, Ta ... berapa kali pun aku berharap itu cuma mimpi—nyatanya itu bukan. Because until now ... I still feel the pain in my skin, vein, and bones. Berapa pun jauh aku lari, aku akan selalu balik ke tempat yang sama. Aku—“

Cakra menarikku ke pelukannya dan lagi-lagi membiarkan aku menangis sampai puas. Ia sama sekali tak bicara, tak menghakimi, bahkan tatapannya tidak berubah. Pelukannya juga masih sama. Hangat.

“Kamu tahu, Ta, aku pernah bilang kalo kamu mungkin akan kecewa saat kita sampai di masa depan. Sejak sama kamu, aku nggak pernah siap hari ini akan datang. Tapi ternyata rasanya nggak buruk. Kayak ada beban yang diangkat dari pundak aku dan itu bikin lega. Setelah ini, aku bisa ngerti kalo kamu akhirnya memutuskan buat ninggalin aku. Sakit sih, tapi entah kenapa rasanya aku nggak bakalan menyesali apa pun.”

Hei, Love, wanna know a secret?”

“Hmm?”

“Kamu udah pernah nyeritain ini ke aku. Dan seperti malam itu ... aku juga bakalan tetap meluk kamu sampai pagi. Aku nggak bakalan ke mana-mana, aku bakalan tetap di sini. Aku bakalan ikut ke mana pun kamu lari, dan ke mana pun kamu pergi. Ya, aku memang posesif kebangetan,” ujarnya sambil terkekeh.

“Ta ... jangan bilang kamu si parfum vanila?” tanyaku dengan kedua netra membola. Ah, akhirnya semua masuk akal. Inilah alasan kenapa aku selalu merasa deja vu saat ada di sekitar Cakra. Karena malam itu—yang menemani aku menangis dan memelukku saat mabuk bukanlah Ganesha melainkan Cakra. Aku pikir Ganesha tidak menyinggungnya sama sekali karena tidak mau aku terluka, tapi ternyata karena pria itu memang tak tahu apa-apa.

“Ya, aku memang pakai parfum vanila. Kenapa?” tanya pria itu dengan kening berkerut.

Aku hanya menggeleng tanpa mampu berkata-kata. Lalu aku memeluk pria itu erat. Jadi, begini rasanya dicintai oleh seseorang? Harus aku akui rasanya benar-benar luar biasa. Cakra tahu segalanya dari awal, ia tahu semua masa laluku yang kelam dan versi diriku yang terburuk. Namun, pria itu memilih untuk terus jatuh cinta kepadaku. Mungkin memang benar, akan selalu ada yang mencintai kamu apa adanya dan tanpa menuntut balasan apa-apa. Dan ia tidak akan pernah pergi walau tahu kamu sama sekali nggak sempurna.

“Ta....”

“Yes, Love?”

“Kayaknya kali ini aku nggak mau lari ke mana-mana lagi. Aku tahu di mana aku harus berhenti dan ke mana aku harus pulang.”

Cakra tersenyum lebar lalu berkata, “Welcome home.”

Ya, mungkin sekarang saatnya aku berhenti lari dari kenyataan. Mungkin sekarang saatnya aku mengakui kesalahan. Mungkin sekarang saatnya aku berdamai dengan semuanya. Aku melepas pelukan Cakra saat mendengar ponselku berdering nyaring. Sebuah nama yang muncul di layar ponsel membuat aku menatap kedua netra Cakra, dan pria itu langsung meresponsnya dengan anggukan kepala. Membuatku sontak mengangguk mengerti dan segera manjawab telepon itu.

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang