Dinner

17.7K 2.5K 22
                                    

"Pokoknya gue nggak mau tanggung jawab kalo ada apa-apa," dengkus Ganesha seraya memarkirkan mobil di halaman rumah Oma yang luas. Sudah ada lima mobil lain di halaman, sepertinya anggota keluarga yang lain sudah berkumpul semua di dalam.

"Santai aja kali, G. Palingan yang diceramahin entaran cuma gue."
Ganesha memutar kedua mata malas sebagai respons. Lalu kami berdua keluar dari mobil dan aku langsung mengapitkan tanganku di lengan Ganesha. Dengan senyuman lebar aku segera menghampiri Mama yang kini menatapku dengan pandangan tak percaya.

"Hai, Mom! You look damn beautiful today! Walau kerutan di bawah mata masih ada aja. Usia emang nggak bisa bohong, ya?" sapaku menggoda seraya mengajak Mama cipika-cipiki.

Mama menjewer telinga kananku. "Heh, sapi gila! Mana katanya mau bawa cowok!"

"Aw! Sakit, Ma!" seruku seraya mengelus telingaku yang aku yakin kini sudah memerah. "Mama nih kebiasaan langsung cewer aja! Emangnya aku bocah TK! Lagian masa sih Ganesha segede gajah gitu Mama nggak liat?" tanyaku cemberut.

"Ganesha pengecualian!"

"Lho, kenapa pengecualian?" Aku menutup mulut dengan gaya dramatis. "OMG ... jangan bilang kalo selama ini lo bukan cowok, G?"

Ganesha melepas paksa tanganku yang melingkar di lengannya. "Tan, di kehidupan sebelumnya pasti Tante adalah pengkhianat negara. Makanya di kehidupan ini Tante dihukum punya anak kayak Sonya."

Mama mengangguk dengan gaya dramatis, lalu mengapitkan lengannya di lengan Ganesha. "Nggak papa Tante siap menanggung semua akibatnya. Tapi kayaknya yang pengkhianat negara adalah Bapaknya dia. Tante di masa lalu pastilah putri raja," sahut Mama yang langsung direspons Ganesha dengan tawa khasnya yang renyah.

Aku hanya bisa melongo saat melihat obrolan Mama dan Ganesha. Namun akhirnya aku tersenyum lebar. Setidaknya hal seperti ini tidak pernah berubah dan itu membuat hatiku terasa hangat. Aku mempercepat langkah dan segera menyempil di tengah-tengah Mama dan Ganesha lalu kami masuk ke dalam rumah bersama.

***

"Mamamu tadi cerita katanya kamu mau bawa cowok. Jadi, cowoknya ternyata Ganesha, Nya?" tanya Tante Riska nyinyir.

Ya ... akhirnya sidang kehidupan dimulai pemirsa!

Aku mengangguk seraya tersenyum manis. "Iya, Tan, si Ganesha kan juga cowok. Lagian lo kasian banget deh, G. Kenapa sih kayaknya keluarga ini nganggep lo bukan laki? Lo diem-diem operasi transgender, ya? Kapan? Kok, gue nggak tau?"

Ganesha langsung melotot ke arahku dengan wajah sebal luar biasa. Dan aku tahu kalau pria itu tengah menahan diri mati-matian agar tidak memakiku di depan semua orang. Mampus, G, emang lo doang yang bisa nyebar rumor kalo gue ini Medusa, Mak Lampir, dan Perawan Tua! Yes, skor kita satu sama!

"Jaga mulut kamu, Sonya! Kamu pikir bagus anak gadis ngomong begitu? Kamu memang tidak ada bedanya sama Mama kamu!" sindir Tante Rosi.

Aku tersenyum manis sebelum menanggapi ucapan Tante Rosi. "Iya dong aku mirip Mama. Anti nyinyir club, karena orang-orang yang nyinyir itu pengikut setan dan bakal dilaknat oleh Tuhan. Oma, kayaknya rumah ini perlu didoain karena banyak setannya, deh," ujarku seraya bergidik.

"Anya!" seru Tante Riska dengan suara naik satu oktaf.

"Sudah-sudah lebih baik ayo kita makan," potong Oma dan kami semua pun segera memenuhi meja makan.
Jangan bayangkan suasana meja makan malam ini ramai dengan obrolan hangat seperti acara makan malam keluarga lainnya. Atau ramai dengan cengkrama dan tukar lauk pauk, karena suasana meja makan saat ini tidak beda jauh dengan kuburan. Begitu sunyi, bahkan suara sendok yang berbenturan dengan piring pun sama sekali tidak terdengar.

Sebenarnya aku dan Ganesha sudah muak dengan acara makan malam mingguan ini. Tapi kami berdua datang demi Oma dan juga Mama. Haha keluarga? Kami hanya orang asing yang menyandang nama belakang yang sama.

Tiga puluh menit kemudian akhirnya makan malam ini selesai. Kami semua pun segera berkumpul di ruang keluarga. Semuanya berkumpul di sini, tapi aku sama sekali tidak melihat batang hidung Ganesha.
Yak, Ganesha memang sialan! Bisa-bisanya ia meninggalkan aku di kandang singa sendirian. Yups, sidang kehidupan season 2 dimulai pemirsa!
"Kirana belum ke sini?"

"Belum, masih milih undangan katanya."

Tante Riska mengangguk-anggukan kepalanya. "Kalo mau nikah persiapannya memang ribet, tapi kalo udah ijab qobul bakal lega. Kasih tahu Kirana, suruh ke sininya santai saja. Pilih undangan yang bagus, kan, nikah sekali seumur hidup. Biar nggak diketawain kalo undangannya jelek. Kalo kamu kapan nikah, Nya?"

"Nanti, Tante, kalo udah nemu jodohnya," jawabku tak acuh. Yeah, here we go again....

"Nyari jodoh nggak usah punya kriteria ketinggian, Anya. Yang penting tanggung jawab, dari keluarga baik-baik, dan mapan. Nggak usahlah harus ini itu kebanyakan kriteria. Inget wanita punya batas masa subur."

"Iya, Tante," sahutku malas.
Selalu begini setiap minggu. Kalau telingaku bisa mual mungkin ia sudah muntah sekarang karena terlalu banyak mendengar kata-kata yang sama dan berulang-ulang.

Lagi pula, apa salahnya sih kalau aku mau pria terbaik sebagai pendamping hidup? aku bukannya sok jual mahal atau permintaanya terlalu muluk-muluk, tapi ini hidupku. Aku yang menjalani pernikahan itu dan aku pula yang menjalani hidupku sendiri. Jadi tak ada salahnya kan kalau aku mau yang terbaik? Setidaknya yang bisa menerimaku apa adanya.

Aku langsung mendesah lega saat akhirnya Kirana datang dan menarik perhatian para Tante. Kini sepupuku itu yang menjadi target ceramah dan mendapat materi bagaimana menjadi istri sekaligus ibu yang baik saat menikah.

"Gantian, semangat!" ujarku tanpa suara.

Kirana menatapku dengan pandangan memelas memintaku untuk tinggal dengan tatapan mata. Tapi sorry, Sis, gue udah mabok ceramah!

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang