Medusa? Mak Lampir? Perawan Tua?

38.9K 3.9K 119
                                    

Aku menjauh dari parkiran lalu berjalan ke arah Istana Bunga yang tampak cantik pagi ini. Senyumanku semakin lebar saat melihat beberapa bunga matahari sudah mulai mekar dan tampak memesona.

Istana Bunga sendiri adalah toko bunga yang aku dirikan lima tahun lalu. Memang bukan yang terbesar di Jakarta, tapi aku patut berbangga diri karena aku punya klien tetap dari dalam dan luar negeri.

Istana Bunga juga cukup hits di kalangan anak muda karena kami menawarkan bouquet bunga dengan berbagai macam tema. Mulai dari simple, klasik, estetik yang super kekinian, atau request super absurd dari para gebetan kalian.

Butuh bunga untuk nembak gebetan tanpa penolakan? Silahkan datang ke sini!

Aku melihat arloji yang melingkar manis di lengan kiri, masih pukul tujuh pagi. Aku masih punya waktu setengah jam sebelum kembali berkutat dengan berbagai laporan yang membuat kepala nyaris pecah.

Oleh karena itu, kini aku memilih duduk di sebuah bangku di depan Istana Bunga seraya melihat bunga-bunga yang mekar pagi ini. Sekaligus berjemur di bawah sinar matahari.

Aku memejamkan mata dan membiarkan aroma mawar yang baru mekar menusuk hidung, harumnya benar-benar alami. Dan itu membuat seluruh tubuhku jadi rileks.

“Pagi, Mbak Anya!” sapa Robbi terdengar dari suara seraknya yang khas.

Aku membuka mata, lalu tersenyum manis kepada salah satu karyawan favoritku itu. “Pagi juga, Rob! Baru dateng?”

Robbi mengangkat segelas kopi dan paper bag yang sedikit berminyak. “Oh, gue udah dateng dari lima belas menit lalu, Mbak. Tapi tadi gue laper. Makanya nyari kopi sama donat. Mau?” tanya pria itu.

“Gue kebetulan emang belum sarapan sih, Rob. Kalo nggak keberatan gue minta donat lo.”

“Oh, jelas nggak keberatan dong! Kebetulan gue beli rasa keju, nih. Your favorite, right?”

Aku mengangguk antusias. “You know me so well, Bro!” Lalu aku menyambar paper bag dari tangan Robbi. “Sekali lagi makasih banyak, ya!”

Robbi mengangguk seraya mengangkat jari jempolnya. “Yoi, you’re welcome, Mbak! Kalo gitu gue mau siramin anak-anak lo dulu, ya! Biar makin subur,” candanya.

“Rawat anak gue dengan baik, ya! Awas aja kalo ada yang ngadu abis kena kekerasan!”

“Santai, Bos, gue bakal rawat anak-anak lo penuh cinta!” serunya seraya mengedipkan satu mata, membuatku lagi-lagi tertawa kecil.

Lalu aku pun memakan donat pemberian Robbi. Mataku merem melek saat merasakan keju yang meleleh di mulutku. Rasanya sangat lezat. Pokoknya, cheese is the best food in the world!

“Pagi! Lo juga ngelamar kerja di sini, ya?” tanya seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingku.

Dengan mulut yang masih penuh aku menoleh ke samping. Membuat orang yang tiba-tiba duduk di sampingku tersenyum manis dan segera mengelap sudut bibirku dengan ibu jarinya. “Sorry, ada sisa keju di bibir lo,” ujarnya masih dengan tersenyum manis. Kali ini senyumnya sampai ke mata.

Aku menelan donat yang ada di mulutku susah payah, lalu menatap si cowok—dengan senyum manis sampai ke mata ini—dengan kening berkerut. Ini bocah sableng siapa?

Don't be Afraid (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang