Menutupi

46 3 0
                                    


Dini hari di hari. Ditya, Anaya dan bunda bersiap untuk mengantar Jihan ke pondok. Jihan sedih, tapi ia harus menyelesaikan pembelajarannya di pondok pesantren. Kemudian menjelang siang Anaya dan Ditya pamit ke kosan. Sebenarnya mereka sedih karena harus secepat ini meninggalkan bunda, akan tetapi inilah jalan yang harus ditempuh.

Setelah sampai di daerah kampus. Mereka berpisah, karena kosan yang dituju yaitu kosan yang dulu (bersama teman-teman mereka).

"Mas.. stop, aku turun disini saja" Ditya menghentikan laju motornya

"Kenapa berhenti disini sayang, kosannya kan sedikit lagi ?"

"Ndak papa mas, aku turun disini aja. Mau ke warung dulu"

"Mas tungguin yah"

"Jangan, mas dulan aja"

"Mas langsung ke kosan mas aja. Aku ke kosannya jalan aja, kan deket."

"Beneran ?"

"Iya mas"

"Yaudah.., sampe ketemu lagi nanti ya sayang" Ditya tersenyum manis yang dengan cepat pula melelehkan hati Anaya yang mmbalasnya dengan senyuman tipis

"Iya mas"

Anaya bersalaman kepada Ditya, kemudian Ditya mengelus pelan kepala Anaya. Mendekati wajah Anaya. berbelok di telinganya dan berbisik pelan "Mas akan kangen banget sama kamu sayang" kemudian tersenyum, mengucapkan salam dan pergi.

Kata-kata Ditya tadi, membuat jantungnya berdegup kencang dan perasaanya menjadi kegirangan. Setelah sampai di kosan dan menyimpan barang-barangnya, Anaya langsung bersiap-siap pergi ke kampus. Sesampainya di kelas.

"Nay... loe kemana aja ? kok baru masuk kuliah lagi ?" tanya Ira

"Gue gx kemana-mana kok"

"Kayaknya Anaya habis nikah ! Liat, dijarinya ada cincin" sontak saja Anaya kaget dengan salah satu temannya yang menyambar dengan sebutan itu

"Ng..gak lahk, ini cincin hiasan, dikasih ibu. Gue baru ngampus, karena kemarin-kemarin ada keluarga gue yang meninggal dunia"

"Ouh.., kalau itu cincin hiasan. Kenapa dipake disitu, itukan biasanya buat orang yang udah nikah, kalau kata orang tua gue, pamali (gak boleh)." ucap Ira lagi

"Yaelah.., gak papa kali. Buat gue, gak ada yang namanya pamali-pamalian"

"Yaudah, terserah loe lah" sahut Anisa

Anaya lega karena teman-temannyapercaya dengan omongannya, akan tetapi pertanyaan serupa juga ia dapati dariSiska teman satu kosan, teman-teman organisasi, para dosen dan staf yang dekatdengannya, dan lainnya. Akan tetapi Anaya menjawabnya dengan hal serupa. Anayaberhasil membuat mereka percaya, ia merasa tenang.


Ditya & AnayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang