⚠️ please don't copy my story
Original karya sendiri.
---
Semua tampak biasa saja, hanya ada misteri abu-abu yang perlahan dilupakan, romansa yang menimbulkan penyesalan karena kebodohan.
Masalah dimulai saat Raisa menghilang, ada dendam yang ingin...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
Arsa memasuki rumah kediaman ibunya. Dengan ekspresi wajah dinginnya, rumah ini adalah rumah masa kecilnya, namun tidak dengan masa remajanya.
Ia mencari keberadaan wanita paruh baya yang menyuruhnya datang kembali.
Anggap lah Arsa sebebas apa yang kalian pikirkan.
Arsa tidak peduli, tujuannya sekarang adalah datang lalu secepatnya pergi.
Ibunya tengah makan bersama dengan saudara laki-lakinya. Ibunya tampak memperlakukan saudara laki-lakinya itu bak balita yang tidak bisa makan sendiri.
"Arsa..., duduk dulu sini." Ucap sang ibu.
Pandangan Arsa bertemu dengan saudara laki-lakinya itu, tatapan benci, kecewa, marah? Entahlah...
"Duduk cepat, makan dulu sama-sama mamah sama Arga."
Ya, Arga, laki-laki yang ia temui di SMA Wijaya adalah saudara kandungnya.
Mereka tidak kembar, umur mereka pun berbeda, namun sama-sama menduduki kelas dua belas SMA.
Umur mereka terpaut dua tahun, Arga lebih tua daripada Arsa. Saat itu Arga terlambat masuk sekolah, bahkan ia pernah tinggal kelas setahun.
Ibu mereka selalu membuat mereka berkompetisi layaknya musuh yang harus saling mengalahkan, bukan saudara yang saling mendukung satu sama lain.
Masih ada rahasia tentang Arsa yang paling membuat ia benci.
Namun kalian harus tahu satu hal, Arsa merupakan cucu kesayangan neneknya dan neneknya selalu bersikeras bahwa ahli waris Prasma yang layak adalah Arsa, bukan Arga.
Bukan tanpa alasan, dan juga bukan tanpa sebab dan akibat jika Arsa membantah kemauan neneknya itu.
Sedangkan Arga adalah anak kesayangan ibunya, itu yang selalu Arsa tanggapi dari ia kecil.
Arsa duduk, namun ia enggan makan bersama.
"Ada apa? Langsung aja." Ucapnya dingin.
Ibunya yang sedang sibuk menggerakkan garpu dan pisau untuk memotong daging itu seketika menghentikan aktivitasnya mendengar ucapan anak bungsunya itu.
