Arsara : bagian tiga puluh dua

10 6 0
                                    

Happy reading

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Tepat di depan papan tulis ada sepuluh orang siswa yang berdiri dengan satu kaki dan kedua tangan memegang telinga. Ke kanan dan ke kiri berusaha menyeimbangkan tubuh agar tetap berdiri tegak.

"Kenapa gak ngerjain tugas yang saya berikan." Tanya Alja seraya mengedarkan pandangan ke sepuluh orang yang sedang di hukumnya.

"Jawab dong!" Titahnya.

"Gimana mau ngerjain bu, orang gak paham, gak ada contekan. Di jelasin berulang kali pun masuk telinga kanan keluar ke trelinga kiri, di otak cuma sisa ampas materi."

"Dikasi tugas itu di kerjain, paham gak paham gapapa, satu tugas itu berharga untuk nilai raport kalian."

"Bukan berarti berharga buat masa depan kan bu."

Bu Alja menghela napas berat. "Yang saya garis bawahi bukan nilai raport, tapi tugas, tugas itu adalah tanggung jawab kalian, tanggung jawab adalah bagian dari proses pendewasaan dan sebagian cerminan untuk masa depan kalian."

"Bu Aja, bisa bicara sebentar?" Bu Riri berdiri di depan pintu ke kelas XI MIPA 1 yang terbuka lebar.

"Iya bu." Bu Alja menghampiri Bu Riri dan keduanya pergi entah kemana, melihat itu seisi kelas langsung menghela napas karena keluar dari suasana mencengkam.

Begitu juga dengan barisan siswa yang sedang di hukum, mereka langsung merubah posisi dan bersantai.

"Gila capek banget."

"Keren ya, berani banget ngejawab bu Alja." Raisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah teman-teman sekelasnya.

"Pengen banget gue ikut ceramah, yang les nilainya di tinggiin bukan nethink yha, tau lah. Semua orang juga tau yang paling pintar siapa. Iya gak Audrey?" Tanya salah satu pria yang di hukum itu.

"Sok sok an lagi mau gantiin posisi Raisa." Sindir wanita yang ikut di hukum. 

Raisa menghela napasnya. "Kapan kelas gue rukun damai sentosa?" Tanya Raisa pada dirinya sendiri.

"Udah lah jangan kaya anak kecil." Timpal Zefan risih.

Tak lama kemudian, merek ayang tadinya baring di lantai, duduk di meja dan kursi guru, bersandar ria di papan tulis langsung terlonjak kaget. 

Rahasia KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang