Arsara : bagian dua

155 65 11
                                    

Happy Reading

***

Arsa mengenakan kaus putih berlengan pendek yang tampak sekali basah dikarenakan keringatnya, begitu pula rambutnya. Namun hal tidak mengurangi satu persen pun kharismanya.

Hanya saja wajahnya tampak menahan emosi, ia selalu berusaha untuk tenang, mencoba semua tetap baik-baik saja.

Sarung tinju masih melekat ditangannya, ia duduk sejenak berharap emosinya bisa terkendali. Arsa membuka sarung tinju yang melekat ditangannya itu, raut wajah bahkan hembusan napasnya, tampak sekali kepasrahan terukir, bahkan sejenak matanya ia pejamkan.

"Mulai deh..." Rion menggelengkan kepalanya melihat wajah Arsa yang merah padam.

"Apapun masalahnya, larinya ke Tuhan, jangan mainin emosi terlalu dalam. Sesuatu yang dalam apalagi menyakut emosional dan perasaaan itu ngga baik buat manusia tak berdaya kaya kita seluruh penduduk semesta." Sewotnya, Rion adalah salah satu sahabat baik Arsa di SMA Prasma.

Setelah Rion selesai mengucapkan itu, Arsa membuka matanya perlahan dan menoleh ke arah Rion dengan tatapan dinginnya.

Rion langsung melemparkan botol minum mineral yang ia bawa dan ditangkap dengan tangkapan sempurna oleh Arsa.

"Setiap masalah itu pasti pumya penyelesaian, cari tau gimana biar cepat selesai bukan cuma kaya gini"

"Gue cuma mau latihan." Sanggahnya.

"Latihan apaan anjir, jelas banget lo ngelampiasin emosi." Jawab Rion malas.

"Gue punya cara yang mudah biar cepat selesai, tapi beresiko."

"Gas ajalah, ngomong-ngomong lo tahu kalau Raisa pacaran sama Danis?" Tanya Rion lagi.

"Udah dari lama"

"Dan gue juga udah tahu kalau lo dalang dari backstreet mereka."

Arsa yang mendengar hal itu tidak menggubris sepatah kata pun, ia menyibukkan diri dengan ponselnya.

Ia mengerutkan keningnya melihat tak ada tanda-tanda keberadaan Raisa.

Mungkin kah Raisa sengaja mematikan ponselnya?

"Ini jam berapa sih?" Tanya Arsa.

"Lo megang HP, lihat aja sendiri."

Arsa mencoba mengingat sebentar jadwal Raisa hari ini. Ia langsung pamit pada Rion untuk pergi.

"Gue pergi duluan ya."

"Hati-hati hujan soalnya" Teriak Rion saat Arsa telah menjauh dari hadapannya.

***

Raisa berdiri di halaman tempat lesnya, untung saja ada atap yang menghalangi hujan membasahi dirinya. Ponselnya pun mati sehingga tidak bisa menghubungi siapa-siapa.

Raisa sangat lama menunggu Danis, sebenarnya setiap pulang les Danis lah yang selalu menjemputnya. Ketimbang Reno kakaknya, Raisa selalu memilih Danis untuk membantunya dalam hampir segala hal.

Sebenarnya dahulu, saat itu, Arsa...

Sudahlah Raisa tidak mau memikirkan Arsa, ia berusaha untuk menjauh dari pemuda itu.

Sebuah mobil hitam berhenti tepat di hadapan Raisa. Sesosok pemuda turun dari mobil itu membawakan payung ke arah Raisa.

Dan ya...

Dia adalah Arsa.

"Arsa..." Gumam Raisa.

Arsa memayungi Raisa, sampai masuk ke dalam mobil. Raisa menurut saja namun badannya sangat kaku sekarang.

"Gimana hari ini, ada kesulitan?" Tanya Arsa pada Raisa.

"Selalu sulit" Jawab Raisa.

"Kenapa kok pas banget tahu aku lagi nunggu jemputan?"

"HP kamu ngga bisa dihubungi, jadi aku samperin."

"Emang Reno kemana?" Tanyanya.

"Sibuk, tau kan dia lagi banyak tugas."

Dari semua orang yang ada, Arsa lah yang selalu menanyakan hari-harinya. Bahkan pemuda itu selalu tahu jika Raisa tidak baik-baik saja.

"Terima kasih" Ucap Raisa penuh penekanan saat sesampainya mereka di rumah milihlk Raisa.

"Besok berangkat bareng siapa?" Tanya Arsa sebelum Raisa keluar dari dalam mobil.

"Kamu ngga seharusnya kaya gini, itu membuat usaha yang aku bangun bisa gagal. Bisakan tetap biasa aja? Jangan kaya gini ke perempuan, sikap kamu manis tapi bisa menyakitkan. Untung aja kamu kaya kasi harapan ke aku doang, setidaknya aku udah berusaha untuk biasa aja" Ucap Raisa tegas.

"Aku cuma baik, hampir ke semua orang. Bukan maksud mau kasi harapan" Balas Arsa.

Damn!

Pernyataan Arsa membuat Raisa malu.

"Kalau gitu ngga usah baik ke aku, gak butuh."

Apakah ia yang berlebihan menerima kebaikan Arsa? Sampai bisa berharap lebih seperti ini?

Ia langsung keluar dari mobil Arsa tanpa mengatakan sepatah katapun.

Lama bersama Arsa hanya akan membuat hatinya sakit, harapannya muncul kembali, dan kecewanya datang sekaligus.

Malam harinya, seperti biasa ia belajar. Berusaha memahami pelajaran dan berusaha keras untuk menyandang gelar juara kelas dengan nilai yang memuaskan.

Terlahir dalam keluarga yang sangat istimewa membuatnya tidak ingin kurang sedikitpun terutama masalah pendidikan.

Ia ingin membanggakan kedua orang tuanya, Raisa ingin orang tuanya tersenyum bangga kepadanya. Dan ia bisa mengalahkan Reno, yang memang selalu mendapat kejuaraan di akademik maupun non-akademik.

Tiba-tiba pintu kamar Raisa terbuka, Reno masuk tanpa seizinnya. Dan itu sangat menyebalkan bagi Raisa.

"Ketuk pintunya dulu!"

"Kenapa lo pulang gak telepon gue? Untung aja ada Arsa yang jemput. Mana pacar lo yang katanya selalu ada buat lo?" Suara Reno terdengar seperti membentak Raisa, namun volume suaranya masih berusaha ia kontrol.

"Kenapa lo ngomongnya gitu kak?" Jawab Raisa.

"Gue saranin putusin Danis, ngga ada kemajuan lo pacaran sama dia. Kalau lo cuma mau ngalahin gue? Intropeksi diri aja dulu Sa, lo selalu maksain diri. Itu ngga bagus"

"Lo ngga tahu apa yang terbaik buat gue. Bahkan gue juga tahu, lo yang suruh Arsa buat campakin gue! Kakak macam apa sih yang ngurusin hubungan adeknya sama orang lain. Ikut campur terlalu dalam juga ngga baik! Lo bahkan tahu kan gue suka sama Arsa. Tapi kenapa? Lo cuma mau gue makin sakit hati, iya!?" Suara Raisa meninggi, ia bahkan menangis. Raisa tidak pernah bisa marah, apalagi mengeluarkan isi hatinya pada orang lain.

Selama ini Raisa hanya berusaha menyimpan luka dalam-dalam.

Reno terdiam, yang dikatakan Raisa benar. Reno kah yang menyuruh Arsa untuk tidak berhubungan terlalu jauh dengan Raisa.

Reno tidak menyangka Raisa mengetahuinya. Lama terdiam akhirnya Reno hanya mengucapkan kata, "Sorry" Hanya sepatah kata itu saja yang bisa Reno ucapkan.

Raisa menghapus air matanya dengan kasar. Ia menahan air matanya agar tidak keluar. Belum semua isi hatinya ia keluarkan.

"Gue ngga marah soal yang lain selain kalau lo bawa-bawa kalah mengalah. Bisa kan sesama saudara itu mendukung?"

"Apapun yang lo pikirin, gimana pun kata-kata gue. Yang pastinya lo harus tau kalau gue selalu ngedukung lo." Reno langsung pergi dan menutup rapat pintu kamar Raisa.

Rahasia KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang