Bagian enam puluh dua

15 1 0
                                    

Selamat membaca

***

Gisel berjalan mengendap-endap, ia memilih tempat yang cukup sepi untuk sampai ke aula sekolah . Di sana terdapat berkas yang ia cari setidaknya cukup untuk menyelamatkan Alika, dalam lubuk hatinya ia ingin Alika tetap di dekat dengannya walau hubungan pertemanan mereka tidak sedekat dulu lagi. 

Ia membuka genggaman tangannya yang dari tadi sengaja ia lakukan untuk menyembunyikan sebuah kunci. Ia memutar kunci itu lalu mulai mendorong pintu, pintu yang cukup lebar itu mulai terbuka dan memperlihatkan ruangan aula yang sangat luas dengan lampu yang cukup redup.

Gisel mengembuskan napasnya perlahan, ia terdiam sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Ia berlari menuju tumpukan berkas di atas sebuah meja.

Tangannya mulai mengacak-acak tumpukan berkas itu mencari sesuatu yang bisa ia buang untuk mengurangi sanksi yang akan diberikan untuk Alika.

Fokusnya tertuju pada tumpukan berkas sampai tidak menyadari bahwa ia lupa menutup pintu. 

"Lo tau kan hukuman apa yang bakal di kasi buat lo kalau sampai sekolah tau perbuatan lo." ucap seseorang dengan suara baritonya yang tegas.

Gisel terdiam membeku, ia sangat hafal suara itu dan membuat jantungnya berdegup kencang. Ia menengadah menatap Arsa yang menatapnya dengan dingin.

"Lo ngelakuin hal yang sia-sia." Arsa berjalan mendekat ke arah Gisel.

"Pergi!" titahnya tajam bahkan terdengar seperti memaksa.

Gisel memutar bola matanya ia segera pergi setelah Arsa mengucapkan itu.

"You have the key right?" Arsa mengangkat sebelah tangannya untuk meminta kunci yang dimiliki Gisel dengan berat hati Gisel langsung memberikan kunci itu.

"Gue ngga bakalan langsung neglupain masalah ini gitu aja, ada konsekuensi yang harus lo tanggung di setiap perbuatan lo."

"Gue cuma bisa ikut alur aja kan? Gak ada pilihan dan gak bisa ada perlawanan kalau berurusan sama batu." Gisel memaksakan senyumnya lalu pergi meninggal Arsa yang setai menatap kepergiannya dengan tatapan dingin.

Gisel berlari mencari tempat sepi dan area yang tidak memiliki CCTV. Ia membuka jaketnya dan mengeluarkan beberapa kertas dan map dibalik itu. 

Ia tersenyum tipis, setidaknya apa yang ia lakukan tidak sia-sia. 

"Terima kasih ya Raisa udah bantu Ibu mengurus masalah ini kamu repot-repot nganterin ibu ke kantor polisi malam-malam. Audrey beruntung punya teman seperti kamu." Riri menggenggam tangan Raisa dengan penuh rasa terima kasih.

"Sama-sama bu, lagian Raisa lihat sendiri pak Joseph ngelakuin kekerasan pada Audrey di ruang kepala sekolah waktu itu, tindakan yang gak etis dan bahkan gak profesional gak bisa dibiarin. Untungnya ada ibu di sana, Raisa shock banget."

"Oh ya terima kasih juga buat mamah kamu udah ngenalin pengacara." 

Raisa tersenyum lembut setidaknya ia dipermudah karena ibunya lulusan hukum dan memiliki banyak teman di firma hukum yang bisa membantunya.

"Raisa?" seorang pengacara datang menghampiri Raisa dan Riri.

Raisa sedikit terkejut namun dengan cepat ia menyembunyikan keterkejutan dan kegugupannya.

"Heumm..., ini pengacara Rasia kebetulan Raisa juga ada urusan."

Riri sedikit kebingungan karena pengacara di depannya adalah orang yang berbeda dengan yang mendampingi mereka.

Riri dan Margaret saling berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri.

"Riri."

"Margaret, saya pengacara Raisa."

"Ini rekan pak Agus ya?" tanya Riri pada Raisa yang hanya dibalas senyuman oleh Raisa.

Margaret juga ikut tersenyum karena paham betul permasalahan yang dihadapi.

"Kalau begitu saya permisi ya. Kamu pulang sama siapa Raisa? Mau ibu kabari Arsa?"

"Huh?" Raisa membelalak lalu dengan cepat ia menggeleng. "Jangan bu, saya sama Arsa lagi putus komunikasi."

"Saya mungkin yang akan mengantar Raisa pulang." timpal Margaret.

"Baiklah, saya titip Raisa." ucap Riri lalu pergi.

Margaret melihat wajah frustrasi Raisa setelah kepergian Riri, ia langsung menepuk pundak Raisa untuk menenangkannya.

***

Alika membuka matanya saat seseorang masuk ke kamarnya. "Alika." panggil ibunya dengan nada mendesak dan raut wajah  khawatir.

Alika menoleh ke arah ibunya lalu ia bangun sambil melihat jam dinding menunjukkan pukul empat pagi, ia tidak bisa tidur dan gelisah sepanjang malam.

"Mami sudah atur kepindahan kamu ke Amerika, lupakan Prasma dan lupakan semua kejadian yang terjadi di sini."

"Nyonya ini kopernya."

"Letakkan disitu saja bi, bibi tolong siapin yang lainnya aja, yang ini biar Alika yang urus karena Alika paling tau barang-barang yang penting yang harus dia bawa."

"Baik, saya permisi."

"Maksudnya apa sih mi?!"

"Keberangkatan kamu hari ini, jam sepuluh langsung ke bandara mengerti?" ucapnya penuh penekanan.

"Kenapa tiba-tiba?" tanyanya tidak terima.

"Mami tau apa yang kamu lakukan, kamu hampir mencelakakan orang lain bahkan kita gak tau kabar mereka. Kamu suruh anak-anak itu menyerang Arga kan?"

"Mami tau dari mana?"

"Mami kasi kamu kesempatan untuk melakukan apa yang ingin kamu lakukan sebelum ke bandara." setelah mengatakan itu Fina pergi meninggalkan Alika yang termenung sambil memegang pelipisnya.

***

Ig : aninndyav

naswanindya




Rahasia KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang