1| Lukisan Takdir

1.5K 130 9
                                    

Bismillah

"Percayalah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Percayalah. Di setiap ego yang kalah dengan kepatuhan, tersimpan kebaikan yang besar. Meskipun kamu mengelak dari keberadaannya. "

🐳

"ZAY!" pekik Melin mempercepat langkahnya. Wanita kepala tiga itu langsung meletakkan mangkuk yang dibawanya dengan sedikit kasar.

Dua laki-laki beda usia yang sedang menikmati makanannya di meja makan, tentu saja terkejut mendengar pekikan itu. Terlebih sang pemilik nama. Kedua alisnya terangkat bingung. Bahkan, makanan yang berada di depan mulutnya pun tak jadi masuk.

"Kenapa, Mi?" tanya Fadlan heran.

"Wajah kamu kenapa bonyok kayak gini?" seru Melin membolak-balik pipi putranya sambil mengamati lebam  yang ada di sekitar mata dan bibirnya. "Kamu tawuran, hah?"

Zay melepas pelan kedua tangan Melin yang menempel di wajahnya.

"Astagfirullah, Umi. Nggak mungkin lah aku tawuran. Bisa dicoret namaku sama Abi," balasnya memakan roti yang sempat tertunda tadi.

"Terus ini apa?!" Ibu rumah tangga itu belum juga tenang ketika melihat wajah Zay.

"Ya ... nggak apa-apa," jawab Zay sekenanya. "Tadi abis praktikin ilmu beladiri yang diajarin Abi. Tapi karena salah sasaran, makanya jadi bonyok."

"Kamu berantem?"

Zay cengengesan. Rupanya, uminya itu paham dengan diksi yang ia katakan tadi. "Bentar, Mi. Cuma setengah jam."

"Apa?!" teriak Melin tak percaya. Ia langsung menjewer telinga di depannya.

Zay yang merasakan telinganya hampir putus itu langsung merintih kesakitan. "Ampun, Mi," pintanya sambil memegang telinga.

"Umi nggak pernah ngajarin kamu buat pukul orang, Zay."

"Iya-iya, Zay salah. Tapi Zay ngelakuin itu karena nolong orang, Mi." Laki-laki itu mencoba memberi penjelasan.

"Bener? Enggak bohong?"

Zay mengangguk cepat dan mengangkat jari telunjuk dan tengahnya bersamaan. "Suer."

Melihat kejujuran dari mata Zay, Melin sontak melepas tangannya dari telinga putranya. Wanita yang terlihat masih muda itu pun lantas mengambil tempat duduk di samping Zay.

"Jangan ulangi lagi, Zay. Umi nggak mau kamu kenapa-kenapa," tutur Melin dengan nada lembut. Sisi kegalakannya tadi sudah hilang, yang terlihat hanya sisi keibuan yang penuh kasih sayang.

Zawjaty [NEW VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang