thirty three

3.1K 416 6
                                    

Jeno menatap pantulan dirinya pada cermin dikamarnya. Ia sekali lagi memperbaiki tatanan seragamnya yang tampak kusut.

"Jeno-ya, ayo sarapan bersama. Ayahmu sudah menunggu di meja makan."

Melihat sang ibu yang datang ke kamarnya, membuat Jeno mengembangkan senyum terbaiknya. Ia meraih tas sekolahnya, lalu merangkul ibunya untuk ke meja makan bersama. Diikuti dengan seekor kucing yang mengekor dibelakang.

Semenjak ayahnya tau bahwa ia ikut olimpiade, sifatnya mulai melunak. Meskipun belum ada hasil pasti bahwa ia menempati posisi juara satu, tapi ini sudah lebih baik.

"Ibu memasak makanan favoritmu dan ayahmu. Makan yang banyak." Jeno menerima suapan nasi serta lauk yang diberikan sang ibu dipiringnya. Jeno tersenyum kecil, ia sangat jarang bisa sarapan bersama dengan ayah dan ibunya di satu meja yang sama.

"Ayah akan mengantarmu ke sekolah hari ini." Jeno menjatuhkan sendok miliknya, terkejut.

"Tidak perlu, aku akan berangkat bersama—"

"Maaf, tapi Ibu sudah memberitahu mereka untuk berangkat lebih dulu, Jeno. Itu permintaan ayahmu."

Jeno menggeram kecil, rasanya pasti tak akan nyaman. Kenapa pula hari ini ayahnya mau mengantarnya? Tidak seperti biasanya. Dan juga, alasan lain adalah ia khawatir tentang ketiga sahabatnya yang mungkin salah naik bus.

***

Jeno mendudukkan dirinya di tempatnya. Ketiga temannya ternyata belum sampai. Sepertinya ia tiba lebih awal karena tidak ada rute panjang yang harus ia lalui seperti naik bus. Dan seperti dugaannya, ia sama ayahnya sama-sama canggung disepanjang jalan.

Ayahnya hanya bertanya tentang kapan pengumuman hasil olimpiade dan setelah itu suasana menjadi diam. Beruntung karena berangkat lebih awal, jalanan masih lengang dan mereka tiba di sekolah dengan cepat.

Baru saja ingin mengistirahatkan pikirannya, suara gaduh mulai mengisi indra pendengarannya. Itu suara Haechan yang sibuk menggerutu.

"Kau tiba lebih dulu."

Renjun menyapanya, lalu duduk ditempatnya.

"Bagaimana rasanya?"

"Apa?"

Haechan menghela napas, "berangkat berdua dengan ayahmu." Jeno hanya tersenyum dan menggeleng kecil.

"Ayahku biasanya memberikanku uang jajan lebih kalau dia mengantarku."

"Aku tidak."

"Ya sudah. Lagipula kau juga tidak banyak makan dan belanja."

Jeno hanya menaikkan bahunya. Terlihat tidak peduli sama sekali. Ia hanya melihat Haechan yang mengeluarkan ponsel pintarnya lalu menyodorkan di wajahnya.

"Apa?"

"Kau bilang kau punya sekolah impian. Ketik di notes ku. Nama sekolahnya, daerahnya, nomor teleponnya, atau apapun itu." Jeno terkekeh kecil lalu kembali mendorong ponsel Haechan.

"Aku akan tetap disini. Tidak akan kemana-mana."

"Kalau begitu tetap tuliskan. Aku hanya ingin tau."

Jeno mengambil ponsel itu dalam genggamannya, lalu menekan tombol hingga ponsel itu terkunci.

"Jangan khawatir. Aku tidak akan kemana-mana."

"YA! LEE HAECHAN. KAU DICARI MARK SUNBAE DI DEPAN."

Haechan dengan tergesa lalu berdiri meninggalkan ruang kelas. Ia bahkan menabrak beberapa kursi dan meja siswa lain. Meninggalkan tatapan bingung dari ketiga kawannya. Hingga Jaemin berdiri lebih dulu.

"Aku akan menyusulnya."

Renjun menahan tangannya, "aku—"

"Tidak. Tunggu disini, aku akan kembali dengan cepat."

Jaemin mengikuti langkah Haechan dan kakak kelasnya di depan. Meskipun pada akhirnya ia kehilangan jejak karena kedua orang itu mendadak hilang di ujung koridor.

Tak sengaja, ia menabrak seorang wanita yang tampak familiar diingatannya.

"Maaf. Saya tidak melihat—"

"Tidak apa nak, tidak apa."

Sentuhan kecil di bahunya membuat Jaemin sekali lagi memandang wanita itu. Tatapannya terasa sangat familiar. Seperti dia mengenal orang lain yang memiliki tatapan yang sama. Tapi.. siapa?

***

Renjun menyendok nasinya lalu kembali menatap Haechan tepat di mata.

"Sebenarnya ada apa dengan Mark sunbae? Kenapa kau berlari sangat kencang bahkan sampai menabrak meja kursi siswa lain? Apa dia merundungmu?"

Haechan terbatuk-batuk pelan lalu menggeleng. Jeno menyodorkan air botol miliknya yang segera dihabiskan oleh Haechan.

"Dia tidak merundungku. Jangan bicara seperti itu."

"Lalu kenapa?"

"Tidak apa-apa. Makan saja. Jangan pedulikan soal yang tadi."

"Kau tampak menghindar Haechan."

"TIDAK!"

Ketiganya terdiam mendengar jeritan Haechan. Sama sekali tidak menduga bahwa temannya yang satu itu akan berteriak.

"Maaf, aku sedang tidak dalam mood yang baik.."

Lalu makan siang itu berlanjut diselimuti keheningan. Tidak ada Haechan yang aktif seperti biasanya, ketiganya juga tak ada yang ingin bersuara lebih dulu. Usai makan pun, mereka langsung kembali ke kelas tanpa mengobrol sedikitpun.

Seisi kelasnya ikut dibuat heran, pasalnya dimanapun mereka berada, keadaan pasti heboh dan sangat rusuh. Namun kali ini berbeda..

"Ya. Haechan, kau kenapa? Tidak biasanya kau diam seperti itu."

Salah satu teman kelas wanita mereka akhirnya berani bertanya lebih dulu. Jaemin kemudian tersenyum, lalu menjawab.

"Haechan sedang sariawan, Somi. Makanya hari ini tidak banyak bicara."

Somi tampak menunduk, cukup sedih melihat Haechan yang sariawan sehingga tidak ada kehidupan di kelas ini.

"Kau harus banyak mengonsumsi vitamin C, Haechan. Supaya cepat sembuh."

Renjun menghela napas, ia memandang Somi dengan penuh selidik. Bukannya tak sadar, tapi Renjun benar-benar sangat sadar bahwa gadis ini menaruh rasa pada Haechan.

"Dia tidak sariawan. Tapi dia bisu."

Yang mendengar celetukannya, hanya bisa membolakan mata. Haechan sudah mengambil ancang-ancang ingin memukul Renjun jika saja tidak ditahan oleh Jaemin. Sedangkan, beberapa siswa lain yang ikut menyimak tadi hanya bisa menahan tawa, termasuk Jeno.

Setelah suasana kembali mencair, Jeno akhirnya buka suara.

"Aku ke toilet dulu."

***

a/n

jeno gemes ya:(

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

jeno gemes ya:(

friends -00lTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang