twenty one

3.8K 451 10
                                    

Jeno mulai merasa jengah dengan kehadiran gadis-gadis ke kelasnya hampir setiap pagi, memberikannya makanan, minuman, hadiah, semangat, dan lain-lain.

"Lagi?" Ketiganya bertanya begitu melihat Jeno membawa setumpuk hadiah.

"Ini benar-benar menyebalkan. Tapi aku tidak tau bagaimana caranya agar mereka berhenti." Haechan terlihat sibuk memilah-milah hadiah yang diperoleh Jeno.

"Aku bisa memberi tau mereka!" Usulan Haechan membuat Jeno berdecak.

"Jangankan kau, Renjun teman kelompok belajar mereka saja tak mereka hiraukan. Renjun sudah bilang pada mereka berkali-kali tapi tidak pernah digubris oleh mereka." Sungut Jeno kesal.

Haechan melirik Renjun yang mengangguk lemah, membenarkan ucapan Jeno. Memang benar, sudah terhitung tiga kali Renjun mengatakan kepada teman-teman wanitanya agar berhenti memberikan Jeno hadiah ataupun makanan, tapi mereka sama sekali tak peduli.

Lalu Haechan mengalihkan pandangannya pada Jaemin yang mulai memakan cokelat milik Jeno.

Dan terakhir, ia menatap Jeno.

"Aku bisa. Aku yakin aku bisa membuat mereka berhenti. Tapi.."

Jeno menoleh, salah satu alisnya terangkat, menunggu ucapan Haechan selanjutnya.

"..Tapi traktir aku dan Jaemin makan seminggu di kantin kalau aku berhasil."

Renjun menggebrak meja, "kenapa hanya kau dan Jaemin?! Lalu aku?"

"Kau kan sudah mencoba tapi gagal. Kalau aku berhasil sudah seharusnya aku dapat hadiah, kan?"

"Lalu kenapa Jaemin dapat juga?"

"Karena Jaemin adalah sahabat sehidup sematiku." Haechan menoel pipi Jaemin dan memberikan wink padanya membuat Jaemin melayangkan flying kiss padanya. Dan aksi itu mendapat tatapan jijik dari Renjun.

"Bagaimana?" Haechan menoleh pada Jeno menunggu persetujuan sahabatnya itu.

"Terserah kau saja, tapi aku yakin gadis-gadis itu tidak akan berhenti.."

"Serahkan semuanya pada Lee Haechan!"

Dan saat itu juga Renjun merasakan firasat buruknya kembali datang.

***

Keesokan harinya, ketika gadis-gadis dari kelas sebelah datang membawakan Jeno hadiah, Haechan mulai menjalankan aksinya.

"Hei-hei, sini aku ingin memberi tau kalian sesuatu."

Haechan menarik sekitar 5 gadis dari sana menuju ke depan kelasnya. Ia sedikit berembug dengan mereka kira-kira sekitar 10 menit.

"Jadi.. kalian perlu meminta maaf pada Jeno, Jaemin dan Renjun." Gadis-gadis itu kemudian masuk kembali ke dalam kelas, mereka berdiri mengelilingi bangku milik Jeno juga Renjun.

"Jeno.. kami minta maaf sudah berlaku lancang padamu selama ini.. pada Jaemin juga, dan pada Renjun juga.. kami tidak akan menganggu kalian lagi besok. Kami janji."

"Kami benar-benar tidak tau, dan kami minta maaf atas semuanya."

"Kami menyesal melakukannya."

"Tolong jangan marah pada kami ya?"

Dan Haechan dibalik itu, tersenyum bangga. Rencananya berjalan dengan sangat mulus. Setelah bel masuk berbunyi, gadis-gadis itu pun keluar satu per satu.

"Aku berhasil."

"Belum. Kalau besok mereka sudah tak datang lagi, baru kau berhasil."

"Jangan lupakan kesepakatan kita Jeno Lee!"

"Duduklah. Sebentar lagi ssaem akan masuk."

"Aku tidak sabar untuk makan gratis besok!"

***


Jeno pulang dengan beberapa surat ditangannya, ia berharap ini akan menjadi hari terakhir ia menerima surat cinta seperti ini.

"Jeno? Sudah pulang?" Ia menatap ayahnya yang baru saja datang dari arah dapur, tampak ada segelas kopi di salah satu tangannya. Ia tersenyum kecil dan mengangguk.

"Ayah tidak bekerja? Atau sudah pulang?"

Ayahnya duduk di sebelahnya, sedikit melirik pada surat-surat yang dipegangnya sebelum menyandarkan punggungnya pada punggung sofa. Raut lelah tercetak jelas pada wajah sang Ayah.

"Ibumu sakit. Jadi ayah pulang lebih awal. Dia baru saja tertidur."

"Ibu sakit?"

"Kepalanya pusing, dan dia mual-mual. Sepertinya dia masuk angin, akhir-akhir ini ibumu sering tidur larut malam."

Kalian hanya bertengkar dan saling memaki setiap malam.

"Ayah.."

"Ya?"

"Bisakah ayah mencoba bersikap lebih baik terhadap ibu? Aku nyaris setiap malam mendengar ayah meneriaki ibu, dan sesekali menamparnya atau memukulnya bukan?"

Bisa Jeno lihat, ayahnya terkejut. "Jeno—"

"Aku hanya ingin ibu tidak sakit, ayah. Aku harap ayah bisa mengabulkannya untuk ku."

"Ayah akan mengabulkannya."

Melihat putranya yang hanya terdiam, sang Ayah melanjutkan ucapannya.

"Omong-omong, ayah dengar, sebentar lagi akan ada olimpiade sains di sekolahmu? Tempati posisi pertama untuk kandidat terkuat sekolah, dan ayah akan mengabulkan apapun yang kau minta, termasuk yang satu itu."

Olimpiade Sains? Haruskah ia melawan Renjun? Sahabatnya sendiri?

Ayahnya menepuk bahu Jeno, mengusapnya sesekali.

"Dalam hidup, kau perlu ambisi untuk bertahan, Jeno. Meskipun harus bersaing dengan teman terdekatmu sekalipun."


***

Ini visualisasi ayahnya Jeno

jangan lupa vote nyaaa :D aku seneng banget kalian banyak yg vote kemaren shshshshsh, ikutin terus ya ceritanya :D

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


jangan lupa vote nyaaa :D aku seneng banget kalian banyak yg vote kemaren shshshshsh, ikutin terus ya ceritanya :D

friends -00lTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang