thirty six

3.3K 446 49
                                    

Haechan menyaksikan semuanya. Ia berada tepat di depan pintu kelas semenjak melihat Renjun berjalan dengan terburu-buru ke kelas. Ia mendengar semuanya dengan sangat baik.

Melihat Renjun yang keluar dari kelas, dengan segera Haechan menarik tangan Renjun menuju ke taman belakang sekolah. Keduanya beradu pandang dengan emosi masing-masing.

"APA YANG SALAH DENGANMU!?"

Haechan berteriak dengan keras.

"Apa jangan-jangan kau tau juga?"

Renjun dapat melihat wajah kebingungan milik Haechan. Ah, sepertinya mereka berada dalam satu pihak yang sama.

"Jeno mengikuti olimpiade itu. Dia juara satu. Jaemin tau itu, tapi dia tidak bilang apapun padaku. Haechan, ini mimpi kan?"

"Renjun, dengarkan aku. Apa pentingnya menjadi juara satu olimpiade itu?" Haechan memegang kedua bahu Renjun, mengguncangnya sedikit.

"ITU SANGAT PENTING BAGIKU, SIALAN!"

"LALU APAKAH ITU LEBIH PENTING DARI SAHABATMU?!"

Dengan napas putus-putus, Haechan berusaha meredam emosinya. Netranya masih setia beradu dengan milik Renjun.

"Ibuku berjanji akan pulang jika aku menjadi juara satunya."

"Kau masih mempercayainya? Dia berjanji seperti itu selama bertahun-tahun! Kau memohon pada Jeno untuk mengalah agar kau bisa menjadi yang pertama dimana-mana. Tapi apakah dia pulang? Jeno bahkan mengalah padamu selama bertahun-tahun! Apakah ibumu pulang? AKU TANYA APA DIA PULANG?"

Renjun mendorong Haechan dengan kuat.

"Kau tidak tau posisiku karena kau selalu bertemu dan bersama dengan ibumu!"

Haechan kemudian membalas Renjun dengan dorongan.

"Aku tidak tau karena kau tidak ingin cerita! Kau pikir aku bisa menebak jalan hidupmu? Kau pikir aku bisa tau masalah dan posisimu?" Jeritan Haechan membuat Renjun terdiam, meskipun tak urung masih ada emosi di dalam dirinya.

"Lalu apa tadi? Kau bilang Jaemin menjijikkan?"

"Haechan, dengarkan aku. Jaemin hanyalah anak pungut. Dia bukan anak kandung dari keluarga Na. Aku menemukan berkasnya di ruang kerja paman Na. Kita tidak bisa dibohong—"

"AKU TAU! AKU JUGA TAU JAEMIN BUKAN ANAK KANDUNG! TAPI AKU TIDAK MEMBERITAHU SIAPAPUN KARENA ITU BISA MENYAKITI HATINYA!"

Haechan mengusap ujung matanya yang tampak basah, lalu kembali menatap Renjun.

"Kenapa Jaemin? Jeno yang mengalahkanmu di olimpiade itu dan kenapa kau melampiaskannya pada Jaemin? Apa Jaemin melukaimu? Apa Jaemin juga mengalahkanmu di olimpiade itu? Kalau kau ingin tau, Jaemin satu-satunya yang peduli terhadapmu!"

Haechan menarik napas dan mengusap ujung matanya sekali lagi, "apa aku dan Jeno pernah bertanya tentang dirimu? Apa aku pernah peduli apa kau tidur terlambat atau tidak? Apa aku pernah menanyakan soal kantung matamu? Hanya Jaemin yang melakukannya!"

Sesaat hanya terdengar keheningan disana. Bayangan Jaemin berputar sejenak di dalam pikiran Renjun.

"Kau kurang tidur semalam? Kantung matamu terlihat sangat jelas." Jaemin lalu mengangkat pandangannya pada Renjun. Ia memiringkan kepalanya lalu tersenyum manis.

"Kau menangis semalam suntuk, huh? Mata sipitmu itu membengkak sangat besar kau tau?"

Percakapan bisik-bisik yang singkat itu berakhir dengan Renjun yang memukul kepala Jaemin dengan gulungan buku tulisnya. Tidak sakit. Malah menimbulkan tawa gemas dari Jaemin. Jeno dan Haechan hanya menggerutu dari belakang sembari menendang pelan kursi keduanya bergantian.

friends -00lTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang