MIRROR |32 KELUARGA BARU

25 11 0
                                    

MIRROR 32
KELUARGA BARU

Pagi hari matahari bersinar kuat ketika seseorang menyibakkan tirai di kamar. Membuat cahaya menerpa wajah Ghea yang masih berselimut. Mau tak mau, gadis itu membuka matanya mencaritahu siapa yang sudah membangunkannya dengan halus tanpa suara.

Akan tetapi rupanya itu ayah kandungnya sendiri. Ghea mengulum senyuman merasa terusik. Lupa kalau mulai dari sekarang Ayahnya adalah Zidhan. Sebelumnya, dia pikir ada orang asing masuk kamarnya. Ghea pun bangun seraya meregangkan ototnya.

“Pagi, Ghea,” tegur Zidhan yang selalu memamerkan senyuman khasnya.

“Pagi, Pap,” sapa Ghea yang sudah duduk dengan kaki menjuntai ke atas lantai. Dia menahan tubuhnya yang masih lemas dengan kedua tangan di sisi kanan kirinya.

“Bagaimana tidur mu?” tanya Zidhan. “Apa nyenyak?”

“Lumayan. Saya—um, maksudnya—Ghea ... Hehehe. Mungkin belum terbiasa.”

Zidhan mengusap puncak kepala Ghea yang membuat gadis itu langsung saja menegang.

“Lama-kelamaan kamu pasti terbiasa.”

Belum pernah Ghea diperlakukan begitu oleh Ayahnya. Sepertinya, dia tidak salah untuk memilih tinggal dengan Zidhan.

“Papa, sudah siapkan sarapan. Setelah kamu mandi, kamu bisa sarapan dulu sebelum berangkat ke sekolah.”

“Siap.”

Ghea menaruh tangan di kening membuat tanda hormat. Zidhan kembali menyentuh kepala Ghea, tapi kali ini dia mengacak-nya dengan gemas diiringi tawa ringan. Lalu, dia berjalan keluar dari kamar Ghea dan lenyap begitu saja.

Tak kurang dari dua puluh menit, Ghea sudah siap dengan seragam sekolah kebanggaannya. Kemeja putih yang dibalut rompi berwarna abu-abu serta dasi menggantung warna hijau. Berbeda dengan dasi milik Rizza yang berwarna merah. Atau dasi anak kelas bahasa yang berwarna biru. Kelas IPS identik dengan warna hijau. Dia menuruni tangga dengan sebuah ransel yang digendong dan sepatu converse. Rambut pendeknya diikat sebagian dan menyisakan poni-poni tipis di keningnya.

Zidhan sempat tertegun di meja makan. Dia teringat akan wajah Manda yang selalu memamerkan senyuman manis. Pipinya juga sama merahnya seperti bibirnya.

“Pap?”

Zidhan tersentak saat sadar bahwa Ghea sudah ada di hadapannya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali dan bangun, menyiapkan kursi untuk Ghea.

“Duduklah.”

“Wah, ini... Papa yang masak?” decak Ghea kagum saat lagi-lagi meja makan Zidhan dipenuhi lauk beragam serta nasi putih yang masih mengepul. Dia jadi malu sendiri karena tidak bangun pagi dan membantu memasak.

“Ya, Ghea,” kata Zidhan. “Dan kamu harus makan yang banyak. Papa tahu kamu pasti akan menjalani kelas tambahan lagi bersama Pak Faisal.”

Ghea melupakan satu masalah lagi. Andai saja dia tidak terikat dengan hukuman itu. Pasti menyenangkan sekali memiliki waktu lebih lama dengan Zidhan di rumah.

“Apa dia selalu begitu?” Ghea bertanya di sela-sela mereka sarapan.

Setidaknya, di sini Ghea bebas bicara karena Zidhan selalu menanggapinya. Ghea juga tak bisa jika tidak membandingkannya dengan suasana sarapan di rumah lama yang mencekam seperti ritual berpuasa bicara. Di sini, kesannya lebih hangat dan ramai meski hanya berdua.

“Siapa yang kamu maksud?” tanya Zidhan.

“Pak Faisal,” jawab Ghea. “Apa dia seperti itu karena Ghea anak kalian?”

MIRRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang