MIRROR |40 UPAYA PEMBUNUHAN

31 7 0
                                    


Suara ban mobil berdecit tepat ketika rem diinjak secara mendadak. Ghea perlahan menurunkan kedua tangan yang semula menutup wajahnya. Dia mendongak saat cahaya dari lampu mobil menyorot kuat ke wajahnya.

"Ghea, kamu tidak apa-apa?"

"Pak Arya." Ghea langsung memeluk tubuh Arya dan terisak di kemejanya.

"Lo kenapa lari-lari?"

Bersamaan dari itu Rizza keluar dari pintu penumpang.

Tangan Ghea masih gemetar seperti orang yang ketakutan setengah mati. Dia belum bisa berkata sepatah dua patah selain terus menangis.

"Kita masuk ke dalam mobil Bapak, dulu ya."

Arya membimbing Ghea memasuki mobilnya. Ghea menggantikan posisi Rizza yang semula duduk di depan. Rizza sebaliknya, berpindah ke kursi belakang. Mobil Arya kembali melaju.

"Rizza, sepertinya kita harus berhenti sebentar. Maaf sekali Bapak tidak bisa mengantar kamu pulang sekarang. Kita perlu menenangkan Ghea lebih dulu."

"Terus kita ke mana, Pak, kalau tidak pulang?"

"Sekolah. Ke ruangan saya. Sembari saya mengambil sesuatu yang tertinggal."

Sesampainya mereka di sekolah. Ghea dituntun ke ruangan Arya dan duduk di sofa tunggal. Diberi minum dan juga sebatang coklat seperti biasanya.

"Makanlah. Coklat ini akan membuat kamu tenang Ghea."

Lalu Arya duduk di samping Ghea dan membungkuk. "Kamu bisa ceritakan apa yang baru saja terjadi?"

Ghea mengunyah gigitan coklat sambil sesegukan. Ini pertama kalinya dia merasa di dalam film psikopat di mana si pembunuh mengincarnya hingga dia lari-larian dan ketakutan. Entah apa yang akan terjadi kalau saja tadi dia membiarkan dirinya terduduk di lantai. Mungkin dia akan pergi menyusul mamanya. Tapi Ghea juga tidak ingin mati dengan penyiksaan dan kesakitan dulu. Akan lebih baik jika dia langsung dibunuh tanpa perlahan-lahan.

Dan pertanyaannya pembunuh mana yang akan membunuh tanpa rasa sakit? Sementara di hati si pembunuh sudah tertanam dendam yang begitu besar?

Ghea menunjukkan tangannya yang memerah akibat luka panas. "Kenapa sama tangan kamu?" tanya Arya cemas.

"Tante Risa ... Tante Risa mau bunuh Ghea, Pak."

"APA?" reflek Arya dan Rizza.

Kembali tubuh Ghea dipeluk Arya. Diusap-usap punggungnya. Tidak bisa dipercaya jika Risa akan senekat itu.

"Wanita itu sudah gila ya."

"Lalu di mana Zidhan sekarang?"

"Papa di rumah sakit karena nemenin Nenek yang dirawat."

Rizza inisiatif mengambilkan kotak P3K di ruangan Arya yang mirip kost-kostan. Seperti Faisal, Arya juga salah satu kepala asrama kelas tiga. Sehingga dia lebih sering tinggal di sekolah ketimbang pulang ke rumah. Kecuali semenjak istrinya melahirkan anak keduanya, Arya bolak-balik dari rumah ke sekolah.

"Sini tangan kamu biar Bapak obati."

Tangan Ghea diolesi minyak dan juga sesuatu yang agak dingin. Begitu dia sudah agak tenang, dia baru berhenti menangis dan kembali memeluk Arya ketiga kalinya. Entah apa yang dia rasakan. Pelukan Arya itu rasanya hangat sekali. Mungkin karena Arya sahabat Manda juga yang paling dekat.

"Pak Arya. Sebenarnya ada yang mau Ghea ceritakan sama Bapak." Melirik wajah Rizza. Ghea melakukan bahasa isyarat kalau dia akan membahas tentang surat yang ditemukannya itu.

Rizza menggeleng.

"Za, biarin Pak Arya tahu."

Arya gantian melirik Ghea maupun Rizza. "Cerita apa?"

MIRRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang