MIRROR |27 DENDAM GURU SENI

35 9 0
                                    

MIRROR 27
DENDAM GURU SENI

Seorang pria menggebrak meja cukup keras di ruangannya. Dari matanya seperti ada kobaran api yang menyala serta siap membakar. Percaya atau tidak. Tetapi sifat dinginnya itu kini berubah bergejolak bagai air mendidih.

Siapa yang akan menyangka mereka akan bertemu lagi?

17 tahun.

Dan orang itu tidak pernah berubah. Sedikitpun tidak pernah. Zidhan tetap menjadi manusia pembuat onar yang idiot dan konyol.

"Dia," ucap pria itu mengeram, "tidak akan ku biarkan dia datang lagi.  Pembuat onar!"

Pria itu mendesis dengan tangan terkepal di samping tubuhnya sampai buku-buku jarinya terlihat memutih.

Pria itu tahu bagaimana watak orang yang barusan bertemu dengannya. Dia sangat hafal dan tidak pernah salah dalam menebak bahwa orang itu ingin membuat hidupnya menderita lagi. Sialnya adalah mereka harus bertemu di tempat ini lagi.

Iris mata yang kelabu itu lalu menoleh ke sebuah wajah orang yang tidak berhenti senyum.

"Laki-laki seperti itu tidak pantas ada di sini. Aku benar bukan?"

Sepasang mata mengintip di balik celah pintu yang tertutup. Dia melihat pria itu sedang bicara entah dengan siapa yang tidak bisa dilihatnya karena terhalang pintu lain di ruang itu. Dia sangat penasaran. Maka dia semakin menyipitkan mata untuk melihat jelas, naasnya pintu yang digunakan untuk menutupinya tidak kuat menahan beban tubuhnya sehingga lututnya harus mencium lantai.

"Auh,"

Pria di dalam itu tersentak mendengar suara pekikan seorang gadis. Dia heran bagaimana ada orang lain yang masuk ke ruangannya tanpa seizinnya. Berani sekali orang itu. Bahkan untuk masuk ke ruangannya saja kepala sekolah wajib mengetuk pintu. Ini. Orang yang tidak tahu sopan santun malah masuk begitu saja seperti tidak punya tata Krama.

Dengan gerakan cepat dia keluar dari ruangan kedua dan mengunci pintu rapat.

"Apa yang kamu lakukan, Regina Abighea?!" Pak Faisal melotot dengan bola mata yang hampir keluar dari kantungnya sembari menghampiri muridnya itu.

Ghea bangun dengan gerakan perlahan.

"Mengintip seperti tikus lagi?" desis Pak Faisal.

"Bukannya Bapak nyuruh saya buat ke sini?" cetus Ghea. Mengingatkan bahwa sore ini ada tugas tambahan dari guru Seni sekaligus wali kelasnya yang baru itu.

"Apa di rumah mu tidak ada pintu?" Pak Faisal malah mencibir sarkas. Alis Ghea spontan bertaut menandakan kebingungan. "Kamu belum pernah mengetuk pintu saat hendak masuk ke ruangan orang lain?"

Entah kenapa, Ghea malah penasaran dengan pintu di belakang Pak Faisal. Kenapa pria itu menguncinya rapat seakan menyembunyikan tahanan di dalam sana?

Dan siapa orang yang dia ajak bicara?

Tetapi Ghea lebih tertarik dengan pergelangan tangan kiri Pak Faisal yang dibungkus kain tipis warna putih.

"Regina Abighea?" Pak Faisal meminta penjelasan.

"Tadi pintunya kebuka sedikit. Saya pikir Bapak sedang kedatangan guru lain, makanya saya menunggu di luar. Tapi, pintunya tidak kuat nahan saya, malah kebuka lebar"

"Alasan yang klasik. Buka buku mu untuk mulai mengerjakan tugas!"

Pak Faisal mengarahkan Ghea untuk duduk di kursi khusus tamu ruangan itu.

Pak Faisal tidak hanya menjabat jadi guru di sekolah ini. Namun menjabat sebagai ketua asrama. Ya. Sekolah Ghea memang cukup elit. Dimana ada asrama untuk kelas tiga yang hendak mengadakan ujian. Dan tentunya, asrama itu terletak di belakang gedung sekolah.

MIRRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang