MIRROR |37 TERLAMBAT

51 10 0
                                    

MIRROR 37
TERLAMBAT

________________________________________

Ulangan terakhir berlangsung hari ini. Seperti hari-hari kemarin, Ghea mencoba membaca-baca kembali buku pelajarannya sebelum berangkat ke sekolah. Semalam dia tak banyak waktu belajar karena rasa kantuk menyerangnya.

Ghea makan roti tawar dengan olesan selai kacang di tangan kanannya, sementara tangan kirinya masih memegang buku. Dia tidak sarapan seperti kemarin yang serba disiapkan Susi atau Fina. Karena kebetulan dua pelayan itu sudah mulai mengambil cuti.

Sebentar lagi libur tahun baru. Semua orang telah mempersiapkan liburan mereka. Termasuk keluarga Zidhan yang rencananya akan pergi ke luar negeri. Sembari konsultasi masalah penyakit ibunya Zidhan. Dan Ghea tak berhenti mengukir senyuman senang karena sudah menjadi bagian mereka dan yang pastinya akan ikut. Zidhan lebih antusias liburan dengan Ghea ketimbang keluarganya.

Ghea mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. Terbiasa memainkan jari sejak dari kecil. Lalu dia memperhatikan suasana rumah yang lenggang karena tidak adanya pelayan mondar-mandir di pagi hari. Kata Sekar; selama Susi dan Fina pulang kampung, yang akan menjaganya beberapa waktu adalah Risa. Tetapi sejak Ghea keluar dari kamar, belum ada tanda-tanda Risa akan datang.

Apa dia masih dengan urusannya?

Terdengar suara roda menyentuh lantai. Sekar keluar dari kamarnya dengan mendorong-dorong kursi roda sendirian. Ghea reflek bangkit untuk membantunya melaju ke meja makan.

“Nenek kok gak bilang kalau udah bangun?”

Sekar tampak acuh tak acuh. Ghea menundukkan pandangan takut-takut karena tatapan sekar saat itu begitu dingin kepadanya.

“Kenapa kamu tidak menepati janji, Ghea?” kata nenek dengan nada mirip
celaan.

“Janji?” beo Ghea.

“Ya. Janji.” Sekar menepis tangan Ghea dan melaju menjauh sendirian. Kedua tangannya ditaruh disisi kursi roda. Wajahnya menoleh ke samping. “Kamu sudah berjanji akan membujuk Zidhan.”

Rupanya soal itu.

“Ghea udah nyoba bujuk Papa kok, Nek, tapi papa nolak.”

“Itu tandanya kamu tidak melakukan dengan betul-betul! Kamu niat tidak sih membantu Nenek?” tegas Sekar, berang. Raut wajahnya berpaling kembali ke arah depan.

“Maafin Ghea. Nanti Ghea coba lagi.” Ghea menunduk dengan memainkan jari di depan tubuhnya.

“Selesai makan. Kamu cuci piring, ya. Kamu, kan tahu, Susi sama Fina pergi. Lagipula, waktu kamu masih lama, kan?”

“Iya, Nek.”

Ghea mengangguk patuh. Ditaruhnya buku yang sejak tadi menemaninya sarapan di atas meja. Lantas dia pergi ke tempat mencuci piring. Dua puluh menit dia berkutat dengan piring dan gelas kotor. Hingga jam dinding tepat menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit, dia tersadar. Bahwa ini waktunya berangkat ke sekolah. Baru saja Ghea berhasil memakai sepatu, suara Sekar kembali terdengar dari arah ruang tamu. Wanita itu sedang duduk menonton televisi.

“Ghea. Sekalian. Dari semalam rumah ini belum di sapu dan di pel. Kamu tolong bersihkan lantai dulu.”

“Tapi, Nek—”

“Ghea,” Sekar menyela cepat. “Kalau aja Nenek kuat, Nenek gak bakal nyuruh kamu.”

Sekali lagi Ghea menuruti perintah itu. “Baik, Nek.”

Sebenarnya waktu masih tersisa dua puluh menit lagi menuju gerbang sekolah ditutup. Mungkin, kalau Ghea minta supir yang mengantarkannya tidak akan membuatnya terlambat. Pikiran Ghea masih mencoba positif dan tidak tergesa-gesa. Dia kemudian mengambil sapu dan pel. Mulai untuk membersihkan lantai rumah. Dari mulai lantai kedua. Dari arah dapur ke ruang tamu. Pekerjaan itu tampak begitu cepat karena Ghea melakukan dengan maksimal. Dia tidak ingin hari terakhir ulangannya terlambat, tetapi di detik berikutnya pekikan Sekar di dekat tangga membuat dia benar-benar mendapat masalah.

MIRRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang