MIRROR |33 MEMORI MANDA

25 11 0
                                    

MIRROR 33
MEMORI MANDA

Sudah menjadi amanah dan tugas Rizza dari Zidhan untuk menjaga Ghea, maka Rizza selama jam istirahat tidak memilih pergi ke kantin. Melainkan menemani Ghea yang baru bisa tenang dan kembali ceria setelah kurang lebih sepuluh menit.

Meski begitu, Rizza tetap menemui Regan untuk menegurnya. Sebelumnya, mereka memang sudah kembali baikan. Karena Regan bukan tipikal orang yang pendendam terutama pada sahabatnya sendiri. Regan paling tidak bisa membenci Rizza. Kebenciannya hanya saat dimana Rizza melakukan kesalahan. Tapi begitu dia sudah mengungkapkan kekesalannya, dia akan kembali menjadi Regan yang friendly. Dia terlalu sayang pada Rizza. Sampai kesalahan apapun di matanya tidak akan berpengaruh pada hubungan persahabatannya.

Memang seperti itu bukan?

Persahabatan sejati jauh lebih berharga daripada sesuatu yang mereka perebutkan.

“Regan.”

“Hm?”

“Gue mau minta satu undangan lagi.”

Regan yang mengunyah permen karet sambil duduk di balkon lantai kedua, seketika mengerutkan kening.

Dia bertanya. “Buat siapa? Kalau buat bungkus gorengan enggak deh mending lo petik daun aja sana”

“Ini buat Ghea,” jawab Rizza. “Lo suka kan sama dia? Kenapa lo belum juga kasih dia undangan?”

Regan malah mendengus geli. “Jangan ngaco,” katanya, sambil terkekeh.

“Gak usah pura-pura bego kalau sama gue. Denger ya Gan, Ghea itu dirasuki. Lo masih belum percaya juga. Kalau lo belum percaya gue bisa panggil hantu yang masuk ke tubuh Ghea sama kayak dulu lo minta gue panggil hantu supaya lo percaya.” Rizza memaparkan sejelas-jelasnya. Tapi lagi-lagi respon Regan malah tertawa.

“Za, tujuh belas tahun gue udah biasa lihat orang kesurupan. Tapi gue belum pernah lihat orang kesurupan minta ciuman, selain minta kopi sama kelapa muda atau sate seribu tusuk. Itu cuma alibi.”

“Ya udah kalau lo nganggap itu alasan biar gue panggil hantunya sekarang, biar hantu itu yang jelasin sendiri ke elo.”

Regan jadi teringat dimana Rizza pernah benar-benar menunjukkan hantu padanya. Rupa hantu itu hancur. Kepalanya loncat ke depan kakinya dan Regan kapok untuk tidur karena selalu mimpi buruk selama satu bulan. Sampai setiap malam dia harus tidur di kamar Mama Papanya. Dia memang payah.

“Eh! Gue percaya kok,” sahut Regan cepat. Sebelum Rizza dan antek-anteknya mulai menampakkan diri, dia tidak ingin mengambil resko. “Cuma... Ya aneh aja gue dengernya.”

Rizza memutarkan bola matanya malas.

Regan menekan undangannya tepat ke dada Rizza. “Ambil nih. Lo yang ngasih.”

Sangat konyol. Regan bukan tidak tahu selera mengapa dia memilih undangan berwarna merah jambu dengan ilustrasi anak kecil habis disunat. Hanya saja, Regan memang suka kekonyolan. Regan juga terobsesi pada abangnya Rizza. Hito. Yang katanya terkenal seantero sekolah bahkan di kalangan geng kelas kakap di jalanan.

“Kok gue sih? Yang ulang tahun siapa
gue tanya?”

“Za, yang minta undangan siapa?”

“Terus yang satu kelas sama Ghea siapa?” tukas Rizza, tak mau kalah.

Regan yang geram mendengus kasar beberapa kali. Lalu menyilangkan tangan di dada. Sebagai tanda—tidak terima kekalahannya dalam berdebat.

“Kenapa sih lo selalu menang dari gue?” cetusnya, kesal.

MIRRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang