MIRROR |8 HADIAH PERTAMA

53 10 3
                                    

PART 8
HADIAH PERTAMA

________________________________________

“Lo....”

Ghea memandang seorang cowok di depannya dengan ekspresi terkejut.

“Ngapain lo di sini?” tanya Ghea.

Cowok jangkung yang tengah mendribble bola dengan mata malas itu, menolehkan kepala sebentar.

Ia lantas berdecih. “Gue rasa lo terlalu bego jadi cewek. Ini tempat umum. Mau ngapain kek gue di sini, yang jelas bukan urusan lo,” balas cowok itu. Lalu ia kembali melanjutkan mendribble bola ditengah lapangan.

Lima langkah dari tempat kakinya berdiri semula, cowok itu kemudian mengangkat dan mengekor arah bola ke depan sebelum akhirnya ia lempar bolanya dan masuk ke dalam ring. Sangat tepat sasaran. Tetapi, Ghea tidak perduli dengan kehebatan cowok itu.

Sekali lagi, diraihnya bola dan melanjutkan mendribble kedua kalinya, cowok itu berdiri membelakangi Ghea.

“Lagian, seharusnya gue yang nanya. Lo mau cari perhatian orang-orang dengan nangis di tempat kayak gini?” katanya lagi. “Cih, lo bego! Gak akan ada orang yang perduli.”

Ghea mengangkat dagu bangkit dari duduk. “Kalau lo gak perduli. Kenapa lo nanya sama gue?” erang cewek itu kesal.

Cowok itu lantas membiarkan bolanya yang jatuh menggelinding jauh. Ekor matanya kini beralih ke arah wajah Ghea. “Karena suara lo berisik. Gue bisa gak konsen main kalau lo terus-terusan merengek kayak bocah TK,” komentarnya, pedas.

”Ya udah, kalau lo gak perduli. Enggak usah anggap aja keberadaan gue! Dan enggak usah perduliin tentang gue!”

Wajah Ghea murung kembali. Ia tundukkan lagi kepalanya ke bawah.

“Karena bukan cuma lo aja yang gak perduli sama keberadaan gue. Mereka juga...” Ghea menutup wajahnya lagi untuk menangis. Mengingat kemarahan sang Ayah saat di rumah membuat Ghea tak henti-hentinya mengeluarkan air mata sekarang.

Cowok itu mendengus geli mendengar hal itu.

“Lo kalau mau curhat jangan sama gue. Gue gak ahli dengerin bacotan alay cewek. Pergi sana! Ajak Regan ketemuan dia ahli soal mengobati patah hati.”

Ghea mendongakkan wajah sebentar, “Lo kenal Regan?”

“Bukan urusan lo.”

“Iya gue tahu bukan urusan gue. Tapi gue cuma nanya Rizza. Dahlah. Lupain aja, lo kan cowok gak punya hati, mana mungkin mengerti perasaan seseorang.”

Entah mengapa mendengar Ghea bicara seperti itu, hati Rizza meringis. Ia tersenyum miris untuk dirinya sendiri. Tidak ada yang pernah mengerti perasaannya. Kenapa Rizza harus mengerti-kan perasaan orang lain? Sungguh dunia yang tak adil.

Sejurus kemudian Rizza tersadar. Saat beberapa orang melewat disekitarnya malah bisik-bisik melihat Ghea menangis. Mungkin mereka menuduh Rizza penyebab seorang cewek menangis di taman tak henti-henti.

“Heh, bego. Gue bilang jangan nangis di sini!” pinta Rizza masih ketus.

“Terus di mana?”

“Ya dimana kek yang jelas jangan di sini.”

“Kan ini tempat umum.”

“Tapi semua orang lihatin lo dan ngira gue penyebab lo nangis.”

Ghea dengan terpaksa bangun dan pergi dari sana menuju kegelapan. Semua orang makin menatap horor ke arah Rizza. Rizza berdecak kesal dan dengan sangat amat terpaksa harus menyusul cewek itu sebelum semua orang membakarnya hidup-hidup.

MIRRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang