Hujan tak kunjung berhenti meski sudah satu jam lebih butirannya berjatuhan menghempas bumi. Kilat hilir menyambar bergantian membelah langit. Suara guntur menggelegar laksana sangkakala menggemparkan antariksa. Langkah yang menapaki jalan beraspal gontai kepayahan. Surainya basah, seragam sekolahnya kuyup. Haidar berjalan kaki pulang ke rumah di bawah guyuran hujan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, dia hanya berharap kesedihan dan rasa sakitnya turut luruh bersama air hujan yang mengguyurnya. Nyatanya tidak. Sakitnya masih terasa di ulu hati. Sedihnya masih mengalir bersama air mata yang bercampur hujan di kedua pipi. Orang yang melihatnya berjalan di bawah guyuran hujan tidak tahu kalau dia sedang menangis. Sebaliknya orang-orang hanya melirik sinis dengan tatapan: orang gila mana yang hujan-hujanan di bawah kilat dan guntur yang sedang mengamuk?
Menengadahkan wajahnya menentang langit. Haidar bisa melihat awan masih berwarna kelabu. Jutaan titik hujan jatuh menyentuh kulitnya tajam bagai tusukan duri. Apa petir akan menyambarnya jika dia berteriak?
Rasa sesak di dadanya apa bisa hilang jika dia memaki langit? Hatinya benar-benar kesakitan.
Adara adalah satu-satunya gadis yang dia sayangi. Haidar menyayanginya seperti matahari yang mengharapkan bulan. Lalu sekarang akan jadi seperti apa dirinya tanpa gadis itu? Haidar telah merelakannya. Karena Adara berhak bahagia.
I lost her.
Haidar kembali berjalan. Jarak rumahnya semakin dekat. Ratusan langkah yang mengantarnya sejauh ini sama sekali tidak menjernihkan isi kepalanya. Tiap langkah semakin kacau.
Keriput di ujung jarinya menandakan tubuhnya mulai kedinginan. Gigi-gigi kecilnya mulai gemelutuk menggigil. Sejuk yang menikam hingga ke dalam tulang.
Nun di sana. Gerbang rumahnya mulai terlihat dari radius sepuluh meter. Wartawan yang biasanya memenuhi dan menghalangi pagar besi itu kini lenyap. Hujan menjadi hal yang paling ditakutkan oleh orang-orang yang mencari nafkah dengan membawa kamera kesana kemari. Syukurlah, berkat hujan Haidar bisa lewat dengan leluasa ke dalam rumahnya.
Satpam rumah buru-buru membukakan pintu gerbang tanpa bisa menyembunyikan raut wajah terkejut saat melihat Haidar. Mengapa bisa anak majikannya pulang sekolah seperti kucing yang habis tercelup air got basah kuyup begini? Pantas saja teman sopirnya yang tadi pergi menjemput tuan mudanya itu hanya bisa pulang membawa laporan bahwa sekolah sudah sepi tidak ada satu murid pun yang tersisa di sana dan gagal membawa pulang tuan mudanya.
"HAIDARRR!"
Teriakan itu datang dari dalam rumah. Sejak setengah jam lalu nyonya rumah pontang panting khawatir karena bungsunya belum kunjung pulang dan ponselnya tidak bisa dihubungi sama sekali. Di luar hujan lebat, ibu mana yang tidak khawatir.
Kartika tadi sempat menelpon wali kelas Haidar, namun katanya, putranya itu sudah pulang sedari tadi kala hujan turun masih sangat deras.
"Dari mana aja? Kenapa nggak bisa dihubungi? Ibu kan khawatir kamu belum pulang mana ujan lebat gini?" cecar Kartika dengan pertanyaan beruntun.
"Satu-satu nanyanya." jawab Haidar dengan suara pelan dan sabar.
Kartika menarik tubuh Haidar agar segera naik ke atas teras rumah, "Kenapa hujan-hujanan sih? Kan bisa nunggu hujannya reda dulu, kalo enggak bilang ke ibu minta dijemput di mana pasti ibu jemput. Kenapa pilih hujan-hujanan?"
"Iseng."
Kartika menghela nafas, "Iseng?" katanya mengulang ucapan Haidar namun dengan nada yang lebih tinggi, "Liat bibir kamu pucet begitu! Mata kamu juga merah! Kamu nggak sadar badan kamu kedinginan?!"
Haidar diam mendengar cecaran ibunya. Toh dia memang bersalah. Dia telah membuat ibunya khawatir. Dia pantas mendapatkan omelan ibunya. Tapi ibunya keliru, matanya merah bukan karena hujan, itu karena tadi dia menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Me, the Sun [TELAH TERBIT]
ФанфикJatuh cinta dengan orang tengil adalah tragedi paling menyenangkan.