"MOBIL SIAPA INI WOY SINGKIRIN! MOTOR GUE MAU LEWAT! ABANGGGG!"
Teriakan super keras dari pelataran rumah terdengar hingga dapur dan sudut-sudut kamar Dion.
Kartika yang sedang di dapur membuat teh hangat untuk suaminya berdecak, "Kebiasaan, pagi-pagi udah ribut." dumelnya.
Herawan menutup koran yang sedang dibacanya, meletakkan kertas abu-abu itu dimeja makan samping piring. Beliau melepaskan kaca mata bacanya, "Kalau tidak bikin ribut, bukan Haidar namanya." ujarnya seraya menyeruput teh hangat buatan istrinya, menghirup dalam-dalam aroma wangi teh yang menenangkan.
"ABANG BURUAN! MOBIL BUTUTNYA SINGKIRIN! HAIDAR UDAH TELAT INI! MAU UPACARA!"
Teriakan dengan suara bass kembali terdengar, membuat Dion dengan malas keluar kamarnya. Cowok itu menyambar kunci mobil di nakas dekat televisi. Masih mengenakan sweater tidur dan celana selutut.
"Buruan pindahin mobil kamu, nanti adekmu tambah berisik." Kartika berucap pada Dion saat cowok itu mampir ke meja makan numpang minum air terlebih dulu.
"Iya," katanya, lalu berjalan keluar rumah.
"DION BURUAN! UDAH JAM TUJUH! GUE TELAT LAGI KAN GARA-GARA LO!" Haidar menghentakan kedua kakinya ke tanah, dia menendang bemper mobil abangnya emosi, berharap mobil butut ini bisa segera enyah secepat mungkin.
"Sabar, gue lagi jalan." Dion menatap datar adiknya yang sudah berkacak pinggang menunggunya memindahkan mobil, dia membuka pintu kemudi, dan mulai memarkirkan mobilnya ke sisi halaman yang lain.
"ABANG NGGAK BERGUNA!" olok Haidar sambil berlari menghampiri motor besarnya.
"Emang lo berguna buat gue?" Dion keluar dari mobil, wajahnya masih terlihat suntuk, akibat begadang semalaman mengerjakan laporan. Dia baru tidur jam tiga dini hari dan terbangun saat subuh.
"Enggak sama sekali." lanjut Dion sambil menatap datar Haidar yang terburu-buru memakai helmnya.
"Tunggu gue balik, abis lo bang!" ancam Haidar sebelum menarik gasnya dalam-dalam. Dia harus cepat sampai ke sekolahnya jika tidak mau dihukum, sialnya ini hari senin dan pastinya ada upacara. Pak Edi dengan penggaris kayunya pasti sudah menunggunya di gerbang depan.
"Oke gue tunggu." Dion berlari kecil masuk kembali ke dalam rumah.
Haidar melirik jam dipergelangan tangannya, "Lima menit harus sampe sekolah." tekadnya setelah memperhitungkan waktu yang tersisa dengan jarak yang harus dia tempuh.
Sialnya jalanan macet parah pagi ini, dan tentunya Haidar terjebak diantara kendaraan-kendaraan lain yang mengisi penuh jalan raya.
Haidar memutar otaknya, dia harus segera lolos dari kemacetan ini. Ada jalan terobosan yang relatif sepi setelah pertigaan lampu merah. Mungkin dia akan tepat waktu jika lewat jalan tikus itu. Tapi, masalahnya lampu lalu lintas di depan sana menyala merah dan masih menghitung mundur dari angka 82. Gila saja, Haidar ingin mengumpat dan menyumpah serapah angka sinting itu. Satu menit lebihnya akan terbuang sia-sia menunggu lampu itu berubah hijau.
Dengan keberanian dan paksaan dari alam bawah sadarnya, Haidar melesat melaju mengabaikan lampu merah di depannya yang sangat mengganggu. Pos polisi di samping kanannya jelas menghiraukan derung motornya yang keras bukan main.
"Mati mati mati." rapal Haidar dalam hati, adrenalinnya berpacu. Bagaimana tidak? Ini jalanan Jakarta yang macetnya level 1731 dalam game, berani menerobos lampu merah kemungkinannya hanya ada tiga, kalau tidak tertangkap polisi ya tertabrak mobil atau motor yang sedang menyeberang berlawanan arah. Opsi ketiga, selamat dari kejaran polisi dan maut. Haidar mengusahakan kemungkinan terakhir.
![](https://img.wattpad.com/cover/199583095-288-k130162.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
From Me, the Sun [TELAH TERBIT]
FanfictionJatuh cinta dengan orang tengil adalah tragedi paling menyenangkan.