Kartika yang kala itu baru pulang dari kediaman orang tuanya langsung berlari menghambur ke ruang keluarga. Sepatu hak tingginya bahkan belum sempat dia lepas. Gaun panjangnya dia sibak dengan kasar saking paniknya.
Portal berita online dan grup Whatsapp wali murid sibuk membahas tawuran pelajar sekolah anaknya--si bungsu--sejak menjelang maghrib tadi. Kartika takut Haidar terlibat. Apalagi grup wali murid gaduh sekali menginformasikan kalau ada banyak murid Garuda yang terluka karena insiden tawuran ini. Bahkan menewaskan satu orang.
Kartika langsung terburu-buru pulang saat mendengar berita itu pertama kali. Dia harus memastikan kondisi putranya. Sebenarnya Kartika tidak akan terlalu panik jika Haidar mengangkat panggilan telponnya. Tapi anak itu tidak mengangkat panggilannya sama sekali dari puluhan dial-nya. Ditambah operator membuatnya kian waswas karena nomor Haidar tidak bisa dihubungi dan berada di luar jangkauan. Rasanya Kartika ingin menangis dan seluruh tubuhnya mati rasa. Mengingat Haidar tidak pernah absen dari hal-hal yang berbau keributan. Celaka.
Dion yang sedang duduk menonton acara televisi di ruang tengah menatap ibunya karut. Remote yang ada di genggamannya dia lempar ke meja karena kaget melihat ibunya yang datang dengan tergopoh-gopoh.
"Dion, Haidar dimana?" Hardik Kartika cepat menanyakan keberadaan si bungsu.
Dion menunjuk lantai atas, bingung kenapa ibunya datang-datang sepanik ini menanyakan Haidar. Ada apa?
"Kenapa emangnya, Bu?"
"Kamu liat berita makanya! Jangan sinetron melulu!"
Dion langsung mengganti saluran televisinya, dan sedetik kemudian matanya membelalak. Murid sekolah adiknya terlibat tawuran dan yang membuatnya terkejut adalah dari insiden itu ada satu korban meninggal dunia. Tanpa basa basi lagi Dion berlari menyusul ibunya ke lantai dua menuju kamar Haidar. Dion sendiri tidak yakin Haidar ada di dalam kamarnya karena sedari dia pulang kuliah sosok adiknya tidak terlihat sama sekali.
Pintu kayu berwarna putih didorong kuat agar cepat terbuka. Kartika pikir dunianya akan runtuh kalau tidak mendapati sosok putra bungsunya ada di dalam kamar.
"Apa?"
Si bungsu melirik senewen, dia sedang membaca buku astronominya dengan posisi tengkurap di atas kasur. Kepalanya hampir menyentuh lantai karena bukunya pun sudah tergeletak terbuka disana menampilkan satu halaman penuh berisi ilustrasi black hole.
"Ganggu lagi baca, Ibu sama Abang ngapain sih?"
Kartika merasa dunianya kembali berotasi.
"Aduuuh sayangnya Ibuuu." Kartika memeluk Haidar dan mengecup puncak kepala si bungsu berkali-kali. Beban berat di hatinya terangkat, lega.
Dion ikut mengelus dada tanda dia tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Si bahlul aman di kamarnya.
"Kamu pulang jam berapa, Dek? Abang kok nggak tau kamu di rumah."
Haidar ragu menjawab, "Emm, dari tadi pagi. Adek minggat pas jam istirahat pertama. Capek tidur di kelas, ya udah mendingan pulang bisa bobo siang nyaman di kasur."
Dion dengan muka datar mengacungkan jempolnya. "Pinter," padahal mulutnya ingin sekali mengatakan nggak usah sekolah sekalian!
Kartika kembali memeluk si bungsu, "Anak pinter," sambil mengelus lembut kepala Haidar. Sungguh Kartika bersyukur Haidar tidak terlibat tawuran sekolahnya.
Haidar memicingkan sebelah matanya dalam pelukan Kartika. Dia heran kenapa ibunya tidak langsung marah mengetahui dia kabur dari sekolah. Padahal dirinya sudah menyiapkan mental kalau-kalau ibunya akan marah padanya karena hal itu, karena memang biasanya pasti ibunya akan sangat murka. Tapi ternyata terbalikannya, ibunya tidak marah. Baru kali ini dia kabur tapi malah dipuji. Biasanya juga disambut sapu lidi. Kalau begini dia akan kabur lebih sering kedepannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Me, the Sun [TELAH TERBIT]
Fiksi PenggemarJatuh cinta dengan orang tengil adalah tragedi paling menyenangkan.