9. PERIHAL UNDANGAN

14.8K 2.1K 460
                                    

Sore hari pukul empat kurang dua puluh menit. Haidar duduk di dekat jendela belakang rumah sambil memangku toples berisi popcorn jagung. Dia memakai celana training panjang dan kaos rumahan andalannya. Sembari menyandarkan punggung pada sandaran empuk sofa, kakinya dia letakkan pada ujung meja dan menikmati kegaduhan yang terjadi.

Sejak tadi pagi saat undangan berlogo emas berstempel istana negara sampai di rumahnya guna memberitahukan keluarga Soesanto untuk menghadiri pelantikan menteri dan berita ayahnya yang akan memegang jabatan kementerian untuk periode kedepan, simsalabim, layaknya sulap rumahnya berubah penuh kekacauan. Dalang dari semua kegaduhan ini adalah ibunya; Kartika Dwiningrat Soesanto, sang ratu rumah.

"Kenapa sih ngasih undangan mepet banget, ya gusti ngga tau aja belum spa sama menipedi." Kartika berlari ke kamar seberang, mencari benda entah apa yang sejak tadi tak kunjung ketemu.

"Mana kebaya yang paling mahal udah nggak muat. Dasar nggak perhitungan, seharusnya kalo mau ngasih undangan tuh minimal seminggu sebelum hari-H. Keterlaluan!" Omelnya terus sambil sibuk kesana kemari entah melakuakan apa.

"Pasti idenya si Irdiana, wahh ternyata gosipnya bener orangnya emang sadis. Belum jadi ibu menteri aja gue udah diuji begini. Mentang-mentang udah jadi ibu negara, cih padahal baru seminggu. Dasar ulerrrrr!" dumelnya tanpa henti.

Irdiana Adigung, istri dari presiden Indonesia Januar Adigung. Ibu dari Tama dan Jean, teman bermain anak-anaknyaㅡDion juga Haidar. Dulu saat masa pemilu berlangsung gosip dikalangan ibu-ibu arisan Irdiana itu tipikal ibu negara yang sadis dan kejam. Sebenarnya mungkin lebih ke disiplin dan tidak bertele-tele, tapi namanya juga gosip pasti harus panas dengan dibumbui sedikit garam. Ditambah lagi Irdiana adalah orang yang sedikit tertutup, meski imejnya sangat baik dilingkup masyarakat tapi tidak dilingkup ibu-ibu arisan.

"Bapaaak! Jas yang dua hari lalu ibu beli muat nggak?!" Teriak Kartika agar Herawan yang sedang memberi makan ikan koi di belakang rumah mendengar.

Haidar menutup telinganya sambil memejamkan mata sejenak, mengheningkan cipta semoga gendang telinganya tidak kenapa-napa akibat teriakan tujuh setengah oktaf ibunya.

"Muat bu! Badan bapak sixpack tenang aja." jawab Herawan tidak peduli dengan istrinya yang sibuk sendiri. Dia yang mau dilantik saja tenang, istrinya yang hanya mendampingi malah riweh bukan main.

"Oke, clear. Urusan bapak selesai." Kartika menghela nafas sejenak. Lalu melangkahkan kaki dengan cepat menuju kamar Dion.

"Bang? Besok ikut datang kan?" tanya Kartika begitu membuka pintu kamar anak sulungnya tanpa mengetuk. Padahal di pintu ada tulisan jelas 'ketuk pintu dahulu sebelum masuk jika masih beradab', tulisannya baru saja di revisi kemarin pagi. Mengingat Haidar yang suka seenaknya sendiri jika masuk ke kamarnya, tapi mulai detik ini Haidar punya teman baru. Ternyata Haidar dan ibunya sama saja kelakuannya.

Dion yang sedang tiduran di kasur mengangguk, "Iya, tadi Tama nyuruh supaya dateng."

"Baju buat besok?"

"Udah ada kok, Dion pake jas yang biasa dipake aja."

"Anak ku tersayang. Emang paling pengertian nggak mau bikin repot ibu. Sip deh, kalo gitu prepare sendiri ya, kalo ada yang kurang bilang ibu. Oke ganteng?"

Dion mengangguk lagi, "Oke,"

Kartika langsung menutup pintu kamar Dion dan beralih ke pintu di sebelahnya. Kartika membuka pintu kayu bercat putih lainnya yang terdapat stiker 'H for Haidar ganteng' 'mantul luar biasa' 'pintu masuk surga', yang sudah jelas ini merupakan kamar anak bungsunya, Haidar.

"Dekk?" Kartika memanggil namun sosok anaknya tak terlihat di ruangan itu. Kamar Haidar kosong.

"Kamana lagi si anak jurig satu,"

From Me, the Sun [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang