34. SUN(FLOWER)

4.5K 1K 402
                                    

Pagi datang dengan semburat cahaya jingga di ufuk timur. Desir angin berhembus masuk membelai tirai dari balik jendela kamar yang terbuka. Sisa embun dingin semalam masih tertinggal di rerumputan hijau sebelum nantinya hilang menguap ke udara atau meresap ke dalam tanah. Haidar sibuk mengamati matahari yang tidak pernah lelah bersinar. Menyandarkan dagu pada kusen jendela. Sibuk memikirkan matahari dan memahami filosofinya.

Semalaman ia tidak bisa tidur. Matanya enggan terlelap. Pikirannya berkelana jauh meski raganya menetap tak bergerak satu inci pun dari atas kasur. Hatinya terlampau sedu. Rasa bersalah masih bersemayam menetap di lubuk hatinya.

Tok tok tok

Pintu diketuk tiga kali dari arah luar. Haidar sontak menengok. Belum sempat dia jawab seseorang sudah berhasil masuk ke dalam kamarnya.

Kartika datang dengan senyum lebar, "Ibu ada arisan hari ini, kamu jangan lupa sarapan ya?"

Wanita itu mengenakan gaun mahal rancangan designer ternama. Dari ujung kepala sampai ujung kaki terlihat seperti toko perhiasan berjalan. Apa tidak berlebihan pergi arisan dengan dandanan seperti itu?

"Ibu mau pamer?"

Kernyitan Haidar dibalas tawa oleh Kartika, "Mana ada pamer, orang-orang udah tau Ibu kaya."

Kalau tidak sedang malas bicara sudah dipastikan Haidar akan menceramahi ibu kandungnya ini dengan ilmu yang didapatnya dari Ustadz Samsuri--guru ngajinya--kalau manusia itu tidak boleh pamer dan harus selalu rendah hati. Sikap ibunya barusan sungguh tidak baik dan tidak patut dicontoh. Meski memang faktanya ibunya ini kaya raya.

"Nggak boleh sombong," kata Haidar mengingatkan.

"Sombong memang nggak boleh, tapi angkuh sedikit nggak apa." Kartika membalas sambil merapihkan tatanan rambutnya yang dibuat sedikit bergelombang.

Haidar menghela nafas pendek, untung ibu kandung.

"Kamu sakit?" Kartika bertanya sambil mendekati si bungsu. Wajah Haidar yang pucat sedikit mengkhawatirkan. Wanita yang kini mengenakan gaun berwarna merah marun itu menempelkan punggung telapak tangannya di kening Haidar.

"Enggak panas, tuh." Haidar memang tidak demam. Kartika beralih meraih dagu si bungsu, mengecek ke dua sisi wajahnya.

"Adek nggak sakit," tepis Haidar menjauhkan tangan ibunya.

Kartika memandang dengan kernyitan dalam di pangkal hidung, "Jangan bilang Adek nangis semalaman?"

Haidar menggeleng cepat, "Mana ada," tukasnya, "cuma nggak bisa tidur."

Kartika diam sejenak sembari memandangi Haidar lekat, "Masih sedih?"

Cowok itu tidak menjawab, dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Menghindar dari kontak mata ibunya. Dia tidak suka jika orang lain mengetahui apa yang dirasanya. Karena sorot matanya selalu berkata jujur. Lagipula selama ini dia sudah terbiasa memendam perasaannya seorang diri. Apapun itu dia merasa sungkan untuk membagikan isi hatinya dengan orang lain.

Kartika tidak berani bertanya lebih lanjut, Haidar menghindar berarti pembahasan ini cukup sampai disini. Selama Haidar belum siap untuk membuka diri Kartika tidak akan memaksa anak itu untuk bercerita.

"Katanya mau arisan, kok malah bengong?" Haidar menyadarkan Kartika dari lamunannya.

"Eh, iya, lagi cosplay jadi patung." Kartika tersenyum, "pokoknya jangan lupa sarapan, oke?"

"Iya."

"Inget, jangan lupa sarapan!"

"Sa. Ra. Pan."

From Me, the Sun [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang