eccedentesiast
(n.) someone who hides their pain behind a fake smile.***
Saat berjalan menuju parkiran sekolah Haidar mengekor dalam diam di belakang Kartika, statis menjaga jarak sejauh satu meter tanpa hilang konsisten. Sesekali menunduk saat Kartika mengecek keberadaannya dengan menengok ke belakang. Mana berani dia memamerkan wajahnya yang kondisinya hancur begini kepada ibu jago satu itu.
Mobil BMW 320i merah terparkir nyentrik di deretan mobil lainnya di parkiran sekolah. Kartika mengemudikan mobilnya sendiri karena ingin bergegas sampai setelah mendapatkan telpon dari Pak Edi, guru kesiswaan si bungsu.
"Sudah tau? Siapa?"
Kartika berbicara dengan orang di seberang telepon. Sejak tadi ponsel yang terus menempel di telinga ibunya membuat perhatian Haidar tidak bisa lepas.
"Apa?!"
Haidar berjengit kaget sambil menyingkir ke samping satu langkah. Ibunya sedang menelpon siapa sih?
"Pak An nggak salah? Masa iya wanita nggak bermoral begitu jadi istrinya ketua manajer pemasaran perusahaannya Kastara?"
Kartika sedang menelpon orang kepercayaannya, si laki-laki yang selalu berjas rapi dan berkacamata antik itu. Dia sedang mengulik informasi mengenai keluarga Brian, anak berandal yang sudah membuat wajah putranya babak belur dan si wanita bergaya bob blunt yang tadi berkata kurang ajar kepadanya di ruang konseling.
"Sudah dicek lagi?"
Haidar menerka-nerka kira-kira percakapan macam apa dan gerangan apa yang sedang ibu kandungnya lakukan. Apa mungkin?
"Kalau memang benar ya sudah. Suruh Kastara pecat orangnya! Biar tau rasa mereka satu keluarga!"
Haidar menggigiti ujung kuku ibu jarinya. Tuh kan, benar! Ibunya pasti sedang melakukan muslihat pembalasan dendam.
Harga diri ibunya adalah sesuatu yang selalu dijunjung tinggi. Direndahkan seperti tadi oleh ibu Brian pasti akan berakhir nahas untuk satu keluarga itu. Terlebih Brian melukai wajahnya, wajah yang amat ibunya istimewakan. Tamat sudah Brian dan keluarganya.
"Sabuk pengaman kamu dipakai." Kartika duduk di depan kemudi. Pandangannya menanti Haidar selesai memasang sabuk pengamannya.
"Ya ampun, wajah anak ibu." Kedua tangan Kartika meraih dua sisi pipi Haidar. Jemarinya mengusap pelan di bagian wajah yang terdapat luka.
"Sakit banget ya?" Kartika menatapnya sedikit berkaca-kaca.
Haidar hanya mengerutkan ujung hidungnya sebagai jawaban. Mau bilang tidak sakit tapi ini sakit. Sakit banget? Nggak juga karena masih bisa dia tahan.
"Pokoknya kita ke dokter dulu. Kita ke rumah sakit dulu sebelum pulang. Aduh gimana bisa begini sih, anak kesayangan ibu."
Melihat Kartika yang mulai melajukan mobilnya perlahan dengan masih terus meracau mengkhawatirkan dirinya, membuat Haidar kehilangan kata-kata. Ekspresi sedih ibunya membuat hati kecilnya merasa kian bersalah. Semakin bertumbuh besar bukannya membuat senang ibunya, dia malah selalu membuat wanita di sampingnya ini khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Me, the Sun [TELAH TERBIT]
Fiksi PenggemarJatuh cinta dengan orang tengil adalah tragedi paling menyenangkan.