"Dar, aku ada tugas kelompok nih. Kamu balik sendiri ya? Bisa kan?" kata Haidar saat pulang sekolah pada Adara. Mereka sedang berdiri di depan kelas. Dan ya, keduanya sudah baikan. Memang susah untuk berlama-lama marah pada Haidar. Alasannya sederhana, Haidar selalu bisa membuat tersenyum kembali semua orang yang merasa kesal padanya. Entah apa resepnya, Haidar selalu punya banyak cara untuk mendapatkan maaf dari orang yang dibuatnya kesal. Bahkan terkadang caranya sangat unik dan tidak terpikirkan oleh orang lain. Benar-benar Haidar.
"Oke, aku pulang sama Brian kok. Tenang aja."
"Yang?" Haidar memasang wajah cemberutnya.
Adara tertawa kecil, "Engga kok, aku pulang sama Sila."
"Ati-ati ya? Nanti kalo udah sampe rumah chat aku." ucap Haidar sebelum Adara melambaikan tangan pulang terlebih dahulu.
"Oke nanti aku kabarin." kata Adara, "kamu juga ati-ati naik motornya. Jangan ngebut," peringatannya, mengingat Haidar suka sekali kebut-kebutan di jalan raya.
"Oke, see you!" Haidar melambaikan tangan.
Cowok itu tersenyum melihat Adara berjalan riang di koridor, bahagia itu sederhana; melihat orang yang disayangi bahagiaㅡitu sudah cukup untuk Haidar.
"Pacaran mulu," tegur Saddam sewot saat baru saja keluar kelas dan mendapati teman sebangkunya senyum-senyum sendiri. Juno, Jimmy mengikut di belakangnya.
"Namanya juga punya pacar," balas Haidar sambil memperbaiki letak tasnya. Hari ini alhamdulillah dia tidak lupa untuk membawa tasnya ke sekolah.
Mereka berempat berdiri berhadapan, melempar tatap dalam diam menunggu salah satu angkat bicara.
"Rumah siapa nih?" tanya Juno. Gemas dengan kesunyian yang tiba-tiba berlangsung. Cowok itu sudah mengeluarkan kunci motornya dari saku.
"Jangan rumah gue, nyokap suka brisik." kata Haidar menolak mereka mengerjakan tugas kelompok di rumahnya.
"Jangan rumah Jimmy, kejauhan. Rumah Saddam aja gimana?" Juno memberi saran.
"Rumah gue ngga sejauh itu deh perasaan," Jimmy tidak setuju.
"Jangan pake perasan Jim, ntar lo baper." Haidar melempar tatapan menggelikan pada Jimmy, Jimmy hanya membalas Haidar dengan tatapan malasnya.
"Boleh ngga nih Dam kerkom di rumah lo?" tanya Juno pada Saddam untuk memastikan yang punya rumah memberi ijin.
Saddam mengangguk, "Ayok lah ngga papa, seneng malah gue ngga perlu capek." jawabnya.
"Eh tapi," cegat Haidar, "bokap lo di rumah ngga nih hari ini? Ntar gue di rukiyah lagi sama bokap lo." lanjutnya. Mengingat ada kisah kelam antara dirinya dan bapaknya Saddam.
"Ngga, di kantor sampe sore kok. Tenang aja." jawab Saddam.
"Lah ini aja udah jam dua malih." protes Haidar lagi.
"Kemusuhan amat sama bokap gue lo? Santuy aja napa dah!" Saddam gemas sendiri.
"Abis kalo di rumah lo, gue disindir mulu. Males,"
Juno tertawa, "Dar, inget ngga lo yang pas lo disindir waktu jadi imam sholat maghrib terus pake suratan pendek-pendek? Ngakak banget gue kalo inget itu."
"Iya njir gue inget, 'Surat Al-Ikhlas mah anak paud aja hafal', cleb momen banget ngga sih?" Haidar mengingat-ingat saat dulu dia sempat menjadi imam sholat di rumah Saddam. Bapaknya Saddam pernah menyindirnya karena dia hanya menggunakan suratan pendek, karena kapasitas Haidar kala itu masih belum seperti sekarang. Bukan apa tapi perkataan bapaknya Saddam terlalu membekas dihatinya. So sad. Tapi Haidar jadi termotivasi untuk menghafalkan surat yang lebih panjang. Ada baiknya juga komentar pedas bapaknya Saddam kala itu, tapi tetap saja perih kalau diingat-ingat. Dan Haidar jadi takut untuk bertemu dengan bapaknya Saddam, kapok.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Me, the Sun [TELAH TERBIT]
FanficJatuh cinta dengan orang tengil adalah tragedi paling menyenangkan.