35. BADAI

6.7K 1.1K 349
                                    

Beberapa hari belakangan menjadi hari tenang untuk Haidar. Tidak ada hal yang terjadi, semua berjalan lancar. Hidup berjalan dengan mudah. Hari-hari seperti inilah yang sebenarnya menakutkan. Takut jika sewaktu-waktu hari tenang ini akan direbut kembali dan sirna.

Pepatah kuno pernah mengatakan, hari-hari tenang adalah hari-hari sebelum badai datang.

Tapi selagi kebahagiaan hadir begitu jelas di depan mata, dari pada merasa takut kebahagian itu cepat berlalu, bukankah lebih baik menikmati waktu yang ada? Karena setiap saat itu berharga. Waktu tidak terulang untuk kedua kali. Waktu hanya hadir satu kali. Dan satu detik adalah waktu yang teramat berharga untuk disia-siakan.

Melupakan tentang Gilang dan sederet masalah yang laki-laki itu bawa ke dalam hidupnya membuat langkah kaki Haidar terasa ringan. Mau semarah apapun yang lalu tetaplah berlalu. Tinggalkan yang buruk, suatu saat semuanya hanya 'masa lalu'.

"Langitnya cerah."

"Iya cerah, mirip ekspresi muka Saddam kalo abis dikasih duit, cerah."

Hari ini Osis mengadakan lomba futsal antar kelas. Tidak tahu dalam rangka apa, yang jelas ketua Osis mengatakan kas mereka kelebihan uang. Dari pada tidak ada kegiatan apa-apa, jadi mari kita hamburkan anggaran. Sekolah para anak sultan memang beda.

Barusan kelas Haidar sudah bertanding melawan kelas milik Chalvin, 11 Ipa 1.

"Mau minum?" Adara duduk di samping Haidar, membawakannya air mineral dingin yang dia beli di kantin sekolah.

Haidar yang duduk di bawah pohon flamboyan di tepi lapangan futsal menengok ke samping kanannya, mengangguk sambil tersenyum menyambut siapa yang baru saja datang.

"Makasih," balasnya sambil tersenyum manis menerima botol minum yang Adara ulurkan.

"Sama-sama."

Adara sudah tidak marah lagi. Cemburunya sudah selesai. Haidar sudah menceritakan semuanya. Memastikan Sinta bukan siapa-siapanya. Dan Adara percaya, gadis itu sudah tidak marah lagi pada Haidar. Bukan marah, hanya rasa kesal sedikit. Benar-benar sedikit. Dan bukankah akan jadi konyol kalau Adara masih marah tidak jelas, padahal masalahnya hanya sepele. Adara bukan tipe yang seperti itu.

"Tadi kelas kamu menang?" Adara bertanya pada cowok yang duduk dengan kaki disilangkan di sampingnya.

Haidar dengan wajah bangganya mengangguk, "Jelas dong, menang. Siapa dulu striker-nya."

"Dih."

Hari ini cowok itu mengenakan kaos olahraganya yang berwarna putih terang. Karena atasan yang berlengan pendek, otot lengannya jadi sedikit terekspos. Celana biru dongker yang pas badan membuat kaki jenjangnya terlihat makin panjang. Seperti kapsul, bajunya dia masukkan ke dalam celana. Gambaran anak teladan dalam berseragam yang baik dan rapi.

"Striker-nya si Jimmy, makanya kelas aku menang. Kamu mah suka banget meremehkan pacar sendiri." Haidar melemparkan tatapan sewot pada Adara.

"Aku udah hapal kamu, sejak kapan kamu jago main futsal? Bisa nendang bola aja udah untung." Adara berkata terlampau jujur.

"Yang? Aku nggak sepayah itu." Haidar membantah.

"Iya tau, tapi nggak sejago itu juga."

Jimmy yang mendengar penuturan Adara yang begitu mengenal Haidar luar dalam jadi terkikik.

"Jangan salah Dara, gini-gini pacar lo itu tadi waktu adu pinalti tendangannya keras banget, jago loh dia sampe bolanya home run." Jimmy tertawa ngakak memegangi perutnya. Mengingat kejadian tadi, bola yang Haidar tendang melewati jauh di atas gawang. Menembus cakrawala dan terus melampauinya.

From Me, the Sun [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang