45. THE SUN SETS

3.6K 879 288
                                    

Tas di punggung terpasang sempurna. Kunci motor yang sudah disembunyikan sejak semalam tersimpan dalam saku celana, aman dari jangkauan pandang Kartika. Haidar bertekad akan langsung lari ke garasi setelah selesai sarapan, dia tidak akan membiarkan siapapun penghuni di rumah ini menghalangi rencananya. Apapun yang terjadi, hari ini dia akan berangkat sekolah dengan si hitam, lalu nanti saat jam pelajaran terakhir dia akan kabur dari sekolah menemui seseorang yang telah dihubunginya tadi malam untuk menyerahkan amplop cokelat yang kini tersimpan di dalam tasnya.

Sejauh ini rencananya terdengar sempurna. Hah! Tentu saja, jangan ragukan Haidar. Kali ini akan dipastikan semua hal tidak mengenakkan ini akan segera berakhir. Badai kencang yang menerjang hidupnya akan segera berlalu.

"Met pagi culun!" Haidar menyapa Dion yang sedang menyantap sarapannya di meja makan, anak itu tanpa sungkan tersenyum ramah dan mendaratkan pantatnya di kursi tepat di sebelah kiri Dion.

"Hm, met pagi juga orang udik." Dion menanggapinya santai, masih pagi dia tidak ingin menghabiskan energinya untuk pertengkaran yang tidak perlu. Sia-sia.

"Abang diliat-liat jelek ya?"

Pertanyaan macam apa?

Dion menoleh ke samping, urat lehernya tercetak jelas. "Anda merasa paling oke?"

Anak itu menopang dagunya dengan sebelah tangan, "Enggak sih, Bang. Di rumah ini yang paling oke tentu aja bapak. Selain wajah bapak yang ganteng, dompet bapak juga sama gantengnya. Haidar mah nggak ada apa-apanya. Apa lagi Abang?" Haidar menyorot Dion dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu kemudian mengulas setengah senyum saat sampai pada wajah kakak laki-lakinya itu, kemudian berdecak, "Ampas tahu."

Dion berhenti mengunyah, sandal rumah berwarna abu-abu sudah ada di genggaman tangannya.

"Jangan pakai kekerasan, calm down men, chill." Haidar menahan tangan abangnya, memaksanya untuk menurunkan kembali sandal yang hampir bersilaturahmi ke pipinya.

"Chill pala lo gepeng." Dion melempar sandalnya ke lantai dan memakainya kembali. Memang tidak ada gunanya bersabar kalau dengan Haidar.

"Hehe."

Melihat Dion yang mengunyah makanannya dengan mulut penuh berisi makanan mengingatkan Haidar dengan kelinci putih yang pernah diperliharanya sewaktu kecil. Cara keduanya makan terlihat mirip, atau mungkin terlihat sama persis. Bagaimana pipi mereka naik turun, sangat imut?

"Apa liat-liat? Katanya muka abang jelek tapi masih diliatin terus!"

Haidar tidak mengalihkan pandang, tanpa malu mengatakan kepada Dion dengan lugas, "Mau abang sejelek apapun abang tetep kakak satu-satunya yang Haidar punya." tidak lupa Haidar mengakhirinya dengan kerlingan mata dan senyum pepsodent.

"Uhuk!" Dion memukul dadanya berkali, Haidar sukses membuatnya tersedak.

"Abang tersedak begitu pasti karena saking terharunya adek bisa se-so sweet ini kan?"

Dion menaruh gelas yang isinya sudah kosong ke atas meja, lalu satu tangannya meraup wajah Haidar dan mendorongnya agar menjauh. Kegelian ini Dion tidak bisa menahannya lebih lama.

"Diem sebelum Abang tutup mulut kamu pake lakban!"

"Bapaaaaak! Abang jahat!"

Dion melotot tajam, ugh drama queen.

Herawan datang dengan setelan jas yang sudah sempurna menempel di tubuh seksinya. Memang bapak satu ini sedikit kurang ajar, setidaknya di umurnya sekarang kadar tampannya harus sedikit dikurangi. Memangnya tidak lelah tampan setiap hari bapak?

From Me, the Sun [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang