Saat itu petang. Dan hujan mengguyur lebat seluruh kota. Suara sirene ambulans memekakkan telinga menembus kemacetan, membelah kota di keheningan hari yang menyambut malam.
Saat itu petang dan hujan. Satu jiwa harus ditolong sebelum terbang terlalu tinggi meninggalkan bumi.
***
Kartika pikir rombongan polisi datang ke rumahnya hendak menangkap dirinya atau salah satu penghuni rumah ini. Atau hanya datang untuk menyapa suaminya. Atau mungkin menanyakan arah jalan. Dugaannya salah semua. Dan dari semua yang sempat diduganya, satu hal yang pasti alasan kedatangan mereka tidak pernah sedikitpun terlintas di kepala.
Saat pertama kali mendengar Haidar mengalami kecelakaan Kartika tidak bereaksi. Dia pikir polisi di depannya sedang bercanda. Mana mungkin, tidak mungkin si bungsu... namun saat polisi mulai mengatakannya untuk kali kedua dan kali ketiga, sepertinya itu mungkin.
Pijakan di kedua kaki Kartika hilang. Kakinya tidak terasa menapak di lantai. Buminya berhenti berorasi. Tubuhnya luruh bersamaan dengan akal sehat yang mulai membias.
Anak kesayangannya, si kecil, si bungsunya ... putranya mengalami kecelakaan.
Kartika dengar keadaan si bungsu tidak baik-baik saja. Saat ambulans membawanya ke rumah sakit si bungsunya sudah tidak sadarkan diri. Kehabisan darah, kedinginan, pucat pasi.
Kartika berlari dengan sekuat tenaga ke dalam rumah. Panik. Takut. Cemas. Semua rasa menjadi satu. Jantungnya berdetak cepat seperti hendak keluar dari tubuhnya. Dengan akal sehat yang masih tersisa dia menelpon sang suami, memberi kabar, menangis, mengadu bahwa putra mereka mengalami kecelakaan dan kini tidak sadarkan diri.
Herawan sama terkejutnya.
Bagaimana ini ... apa yang akan terjadi kepada Haidarnya?
Dion masih berada di kampus ketika ibunya menelpon.
Dia yang berdiri di depan pintu sekretariat saat menerima telepon dari ibunya seketika ambruk bersimpuh di lantai. Ponsel di genggamannya jatuh.
"Dion ... adikmu...." suara ibu terbata, tangisnya terdengar, "adikmu ... k kecelakaan ... Dion.... Polisi bilang ... adikmu tidak sadarkan diri."
Hanya butuh hitungan detik untuk Dion menyambar kunci mobilnya dan berlari seperti orang gila hendak menuju rumah sakit yang tadi ibunya sebutkan.
Ini nyata?
Dion ragu. Alangkah baiknya jika ini hanya mimpi. Tapi hangat air mata yang turun di pipinya terasa hangat.
Jadi, ini bukan mimpi?
Kalau ini bukan mimpi, lalu bagaimana dengan adiknya? Si bahlul, bagaimana dengan si bahlulnya yang katanya tidak sadarkan diri? Dar, please....
Koridor panjang berdinding putih seperti tidak ada ujungnya. Bau karbol khas rumah sakit menyesakkan memenuhi paru-paru. Cemas menguasai seluruh pikirannya.
Saat sampai pada instansi gawat darurat, netra Dion menangkap sosok ibu dan bapaknya. Keduanya berdiri di depan jendela kaca. Dion yang berjalan sempoyongan terhenti, kain yang ada di tangan ibunya adalah baju seragam Haidar. Seragam itu kini tak lagi berwarna putih, seragam itu kini berwarna merah. Sepenuhnya merah. Ibunya memeluk baju milik Haidar itu sambil menangis tersedu. Seolah separuh darinya hendak diambil pergi.
Dion mengeratkan rahangnya, kalau sampai berdarah sebanyak itu, separah apa adiknya terluka? Nyeri terasa di dada hanya membayangkan sesakit apa adiknya saat ini.
"Ibu."
Kartika menoleh dan mendapati putra sulungnya datang. Dion memeluk Kartika erat. Lelaki itu menilik ke dalam ruang IGD hanya untuk melihat raga adiknya yang terbaring dengan beberapa dokter mengelilinginya.

KAMU SEDANG MEMBACA
From Me, the Sun [TELAH TERBIT]
Fiksi PenggemarJatuh cinta dengan orang tengil adalah tragedi paling menyenangkan.