31. ALL MAN DO IS LIE

5.5K 1.1K 433
                                    

Dalam sebuah artikel yang pernah Haidar baca mengenai Seni Berbohong, seorang peneliti mengatakan 'Umumnya orang berbohong lebih dari satu kali per hari'. Akurat. Haidar sendiri berbohong berkali-kali dalam sehari. Membual omong kosong yang kadang tidak masuk akal. Bahkan kalimat 'Masakan Ibu enak banget!' itu saja sudah tergolong ke dalam kalimat berbohong dalam kamus hidup Haidar. Apalagi jika 'Masakan Ibu enak bangetttt sampe mau meninggal!' kadar bohongnya sudah kelewat menembus atmosfer dan terus melampauinya.

Tapi dari sekian banyak kebohongannya tidak pernah sekalipun Haidar berkata bohong kepada Adara kecuali hari ini. Saat Adara bertanya dimana dirinya dan dia menjawab sedang berada di rumah namun sesungguhnya dia masih di sekolah terlebih bersama Sinta. Biasanya Haidar tidak seperti ini, kalau memang tidak ingin memberi tahu pada Adara biasanya Haidar memilih tidak menjawab sekalian, lebih memilih mengalihkan pembicaraan. Tapi kali ini lain, dia telah berbohong. Menjelma menjadi lelaki brengsek ternyata lebih mudah daripada menjaga konsistensi menjadi lelaki baik-baik. Sekecil apapun kebohongan pasti akan meninggalkan titik noda yang tidak bisa dihapus selamanya. Seperti menyelipkan duri ke dalam tumpukan jarum. Meski sama-sama tajam tapi karena rupanya berbeda pasti akan ketahuan. Menyesal dan merasa bersalahpun menjadi tidak berguna.

"Dar, nanti berhenti dulu ya di perempatan tamkot? Aku mau beli kacang rebusnya Kek Hamzah dulu, hehehe makasih Haidar." ucap Sinta dengan meletakkan ujung janggut miliknya di pundak Haidar. Dia berbicara persis di samping telinga cowok itu yang tertutup oleh helm.

Haidar tidak menjawab, tapi laju motornya semakin pelan. Tandanya dia mendengar dan menuruti permintaan Sinta. Baik sekali, padahal tadi siapa yang bertekad untuk pulang cepat? Entahlah, Haidar sendiri juga bingung. Berbicara mengenai Sinta, Sinta ini kalau di-peribahasakan bunyinya dikasih hati malah minta jantung. Haidar sudah berbaik hati memberi tumpangan gratis malah makin banyak saja maunya. Kalau menilik dari Kamus Bahasa Bang Dion, KBBD, ada istilahnya Magadir. Singkatan untuk Manusia nggak tau diri. Cocok diberikan untuk Sinta. Sinta Magadir.

Haidar menghentikan laju motornya di pinggir jalan. Menstandar tepat di depan gerobak jualan milik Kakek Hamzah. Sinta yang berada di boncengannya mengeratkan pegangan saat berusaha turun dari atas motor. Haidar melepaskan helm-nya yang dia kenakan. Mematikan mesin dan melempar kunci ke udara sebelum ditangkapnya lagi dengan satu tangan lalu dimasukkan ke dalam saku celana.

"Kek, bungkus ya dua," pinta Sinta pada Kakek Hamzah begitu turun dari motor. Helm yang dipinjam dari pos satpam sekolah masih terpasang di kepalanya.

Haidar langsung mendaratkan bokongnya di atas undakan, duduk di trotoar di belakang gerobak. Menghadap jalan raya, dia menatap lalu lalang kendaraan sambil menghela nafas panjang. Mengapa dia mau-maunya mengantar Sinta pulang? Pertanyaan itu terlintas. Jawabannya pasti karena dirinya sudah gila, pasti. Ditambah dia menurut saja saat Sinta memintanya berhenti sebentar untuk membeli kacang rebus. Sudah gila.

Haidar berharap Adara tidak mengetahui hal ini. Kalau Adara tahu pasti akan sulit untuknya.

"Nih, bonus buat Nak Haidar." Kakek Hamzah memberikan satu bungkus kacang rebus kepada Haidar dengan senyum hangat yang membuat kedua sudut bibir keriputnya terangkat.

Haidar yang sedang memasang wajah linglungnya langsung mengulas senyum manis, "Makasih Kek," cowok itu menerimanya, "tapi kok isinya dikit banget sih, Kek? Mentang-mentang gratis, ini pasti udah dikurangin kan?" imbuhnya tidak tahu diri.

Kakek Hamzah tertawa lebar, protesan Haidar yang sangat tidak tahu malu membuatnya terhibur. Celetukan Haidar yang ceplas ceplos selalu berhasil membuatnya tertawa. Anak ajaib yang tidak bisa ditebak apa isi kepalanya.

"Sedikit saja makannya, jangan banyak-banyak. Hitung-hitung diet, biar perutnya Nak Haidar nggak buncit lagi." jawab Kakek Hamzah.

Haidar mendecih, tersindir dia. Buncit? Dirinya? Bah, tidak pernah perutnya buncit tuh seumur-umur! Balok kotak berjumlah enam berjejer dengan barisan rapi dua bersaf di atas perutnya. Enak saja Kakek Hamzah mau menghina perut sixpack miliknya. 

From Me, the Sun [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang