23. DIA YANG BAIK HATI

7K 1.3K 441
                                    

Haidar mengantarkan Adara sampai rumahnya tepat sebelum adzan maghrib berkumandang. Dia menepati janjinya kepada Jay kalau dia akan mengantar pulang adik kesayangan lelaki itu sebelum jam 6 sore. Dan Haidar berhasil menepatinya. Di dunia ini, cowok itu yang terpenting adalah menepati ucapannya. Baru setelah itu bisa dipanggil gentleman.

Haidar tengah duduk di ruang tengah rumahnya dengan posisi paling nyaman sambil menonton televisi. Ketika saat itu ibunya datang dan mengambil alih kekuasaan dan hak milik remote yang tengah digenggamnya.

"Awas kalo diganti sinetron tv-nya Haidar tendang!" ancamnya, padahal kan Upin dan Ipin sedang seru-serunya.

"Udah umur berapa kamu masih nontonin tuyul kembar botak abadi yang selamanya jadi murid Tadika Mesra?! Lagian seru sinetron kemana-mana, ada pembelajaran hidup yang bisa diambil." tukas Kartika membalas ancaman putra bungsunya.

"Pembelajaran hidup apa yang bisa diambil ibu-ku sayang dari sinetron yang cuma isinya pelakor kayak gitu?"

"Mengajarkan kita bahwa pelakor itu bakal kena azab. Jadi jangan sekali-kali coba-coba jadi pelakor!"

"Ya Allah apa bagusnya pembelajaran hidup kayak begitu, masih bagus juga nasihatnya Atok Dalang." Haidar memprotes, tidak setuju dengan jalan pikiran ibunya.

"Suka-suka ibu dong mau nonton apa aja, protes mulu kamu kayak anggota dewan." Kartika menggeser duduknya, membuat Haidar tersingkir dari sofa depan televisi.

"Ibu tuh yang rempong minta ampun, awas kena azab. Bentar lagi bakal ada judul sinetron baru, 'Ibu yang durhaka kepada anak bungsunya karena menggangu saat anaknya sedang nonton Upin Ipin, lalu sang ibu berubah menjadi chicken nugget'," Haidar menatap ibunya sebal, padahal tadi Jarjit baru saja muncul dan Haidar ingin mendengar pantun legend milik teman Mail itu. Ibunya memang terkadang keterlaluan.

Kartika melirik tajam Haidar, "Kamu nyindir ibu?"

Haidar menggeleng, "Enggak, tapi kalo ibu merasa kesindir ya Alhamdulillah. Emang itu tujuannya Haidar."

Kartika hanya memberikan tatapan tajam dengan ekor matanya, mulutnya mulai capek meladeni putra bungsunya.

"Bu, ayolah ganti Upin Ipin. Tadi Jarjit baru mau ngepantun." pinta Haidar pada ibunya, lebih tepatnya merengek.

"Minggir ih, sholat maghrib dulu sana!"

"Udah sholat tadi, nih rambut adek masih basah gini kena air wudhu masa nggak keliatan?" kata cowok itu sambil menunjukkan rambut depannya yang masih basah karena air wudhu kepada ibunya.

"Nggak keliatan, ibu mana liat orang basahnya cuma diujung doang kayak gitu,"

"Kalo basah semuanya namanya keramas ibu, ke-ra-mas." Haidar gemas sendiri berdebat dengan ibunya.

"Udah diem kamu, ibu lagi nonton tv jangan berisik," suruh Kartika, lalu melirik Haidar sedetik kemudian sambil berkata, "kalo bisa sih beliin ibu martabak di perempatan samping taman kota, mau kan?" Kartika menatap Haidar dengan tatapan otoriter yang mutlak tidak bisa ditolak.

"Imbalannya?"

Salah satu prinsip hidup Haidar: apapun yang kamu kerjakan akan lebih baik jika bisa mendatangkan keuntungan dan manfaat bagi dirimu sendiri.

"Ibu janji nggak akan nyuruh kamu belajar selama dua hari." jawab Kartika memberikan imbalan agar Haidar mau membelikan martabak kesukaannya di tempat langganan biasa.

Haidar melengos, "Itu mah meski ibu nyuruh Haidar belajar tiap hari pun Haidar nggak pernah mau belajar tuh,"

Kartika berdecak, bocah ini!

From Me, the Sun [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang