Haidar memarkirkan motornya di depan garasi. Dia melepaskan helm dan berjalan menuju pintu rumahnya. Mobil abangnya ada di parkiran, jadi bisa di pastikan manusia itu ada di dalam rumah.
Haidar memegangi kenop pintu rumahnya ragu, antara mau masuk atau tidak. Dia melihat jam di pergelangan tangan, pukul lima sore. Otomatis semua orang sudah berada di rumah kecuali jika bapaknya lembur di kantor. Haidar mengurungkan diri untuk masuk, dia berlari kembali ke parkiran menuju motornya. Bercermin memastikan lebam keunguan di wajahnya tidak terlalu kentara. Bisa habis dimarahi jika sampai ketahuan oleh ibunya.
Haidar mengecek lebam di pipinya lagi ke kaca spion motor, sial lebamnya cukup jelas. Gilang memang titisan anjing. Berani-beraninya dia mengacaukan wajah tampannya. Asetnya yang sangat berharga.
Tunggu, garasi terasa aneh. Haidar tidak melihat mobil dinas bapaknya terparkir di sana. Bagus, beliau belum pulang. Dia bisa sedikit bernafas lega.
Haidar memberanikan diri membuka pintu rumah. Sepi, gelap. Lampu ruang tengah tidak dinyalakan. Haidar mengendap-endap berjalan sangat pelan dan hati-hati menunju tangga. Hendak mengamankan diri ke dalam kamar.
Biasanya kalau sehabis berkelahi atau jatuh dari motor Haidar tidak berani pulang. Dia akan memilih pulang larut malam saat penghuni rumah sudah terlelap, jadi dia bisa lolos dari bebagai pertanyaan dan omelan bapak, ibu dan abangnya. Tapi hanya untuk malamnya dia bisa meloloskan dari dan merasa aman, paginya saat bangun dia akan disidang habis-habisan oleh tiga orang penguasa rumahnya. Mereka akan memarahi dan menanyainya secara bersamaan, lalu akan menghakiminya dan menasehatinya secara bergantian yang membuat Haidar jengah bukan main.
Tapi Haidar akui, memang salahnya. Jadi ya biarkan mereka marah-marah, asal jangan mengusirnya dari rumah.
"Udah mirip maling aja."
Haidar terlonjak, dia terduduk di anak tangga saking terkejutnya. Dion menatapnya lurus dari sofa depan televisi. Ternyata sedari tadi cowok itu berdiam diri disana mengawasinya. Haidar tidak melihat keberadaan Dion karena lampu ruangan yang dimatikan dan posisi duduk cowok itu yang membelakanginya.
"Mencurigakan." Dion menyipitkan matanya menatap adiknya curiga.
"Curigaan mulu lo jadi abang!" Haidar refleks menutup wajahnya dengan telapak tangan.
"Muka lo kenapa ditutupin? Hmm makin mencurigakan."
"Siapa yang nutupin muka?! Gue lagi mijit kepala! Pening gara-gara lo!" kilahnya.
"Kok gara-gara gue? Salah gue apa?" Dion tidak terima.
"Abang nafas aja udah salah!" Haidar berjalan menuju lantai dua, dia sudah di anak tangga paling atas ketika Dion menyuruhnya untuk turun kembali dan segera menghadapnya.
"Sini, gue mau ngomong." tidak ada pilihan lain selain menurut, bagaimana pun Dion tetap abangnya yang ucapannya harus dihargai. Haidar pasrah berdiri di ujung sofa. Tidak mau terlalu dekat dengan Dion.
"Ngapain?" tanya Haidar ketus.
Dion melihat Haidar dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dia melakukan itu sampai tiga kali. Kedua tangannya terlipat di depan dada tanda dia dalam mode serius dan tidak bisa diajak melucu.
"Muka lo kenapa hah?" tanya Dion langsung, membuat Haidar mengeluh dalam hati.
"Nabrak pintu kelas waktu piket tadi siang." jawab Haidar berkilah.
"Lo pikir abang lo ini percaya?"
"Percaya lah, gue kan adek lo."
Dion menggeleng beberapa kali, "Karena lo adek gue, makanya gue nggak bisa percaya sama lo."

KAMU SEDANG MEMBACA
From Me, the Sun [TELAH TERBIT]
Fiksi PenggemarJatuh cinta dengan orang tengil adalah tragedi paling menyenangkan.