2. BUKAN BADBOY

18.7K 2.7K 589
                                    

"ASSALAMUALAIKUM!" Haidar membuka pintu rumah dengan meneriakkan salam. Bukan lagi mengucapkan salam, tapi meneriakkan salam.

Ibunya yang sedang di depan televisi menyaut, "WAALAIKUMSALAM!"

Abangnya yang baru pulang kuliah geleng-geleng kepala. Pantes anaknya gini, emaknya aja begitu kelakuannya. Ya nggak heran si. Untung saja dia normal, mungkin gen ayahnya lebih dominan.

"Tumbenan pulang jam segini? Biasanya isya baru pulang?" tanya Kartika saat Haidar mendaratkan tubuhnya duduk di sofa sebelahnya.

"Ya bagus dong bu, anaknya balik tepat waktu. Biasanya kalo pulang malem kan dimarahin," ujar Haidar sambil mencomot gorengan di atas meja.

"Ya kan tumben aja, sensi amat ditanya gitu doang." balas Kartika.

"Ya nadanya Ibu kek orang suudzhon gitu, kan adek jadi tertantang pulang subuh aja besok." ucap Haidar asal ceplos.

"Bagus, ibu dukung. Ga usah pulang sekalian juga ga papa."

Haidar nyengir lebar, "Gak deng bu, becanda doang kok. Sensitip amat ilah." katanya kemudian, takut ibunya sungguhan mengatakannya. Bisa gawat nanti.

"Gimana pelajarannya hari ini anak ku sayang?" tanya Kartika mengganti topik pembicaraan dengan senyum merekah menghiasi wajahnya.

"Hmm, very good. Very well, thank you." jawab Haidar asal-asalan. Emang durhaka banget ini anak.

"Oh yes?"

"Yess, of course beibeh,"

"Tuhh, tas kamu di situ seharian. Apa kabar kamu di sekolah dek?" Kartika menunjuk tas hitam yang biasa Haidar pakai ke sekolah teronggok di nakas samping tv.

Mati.

"HAHAHA so funny," katanya, "Mom, I can explain." raut wajah Haidar berubah pucat.

"Hehe Pak Edi udah nelpon Ibu tadi siang," Kartika tersenyum, senyum yang menyeramkan menurut Haidar.

"Nggak lagi-lagi bu, janji deh."

"Janji ke seribu seratus dua puluh delapan ini loh? Kamu pikir ibu percaya janji kamu?"

Haidar menggeleng, "Ampun bu, jangan kutuk Haidar jadi batu. Haidar salah plis ampun bu," mohonnya agar tidak kena marah.

"Bandelnya dikurangi dikit dek," suara sang ayah terdengar. Mampus ayahnya sudah pulang kantor. Habislah dia.

Haidar melirik ayahnya yang berjalan menuju sofa depan tv. Masih dengan setelan jasnya.

"Loh bapak baru pulang?" kata Haidar berlagak menyambut ayahnya pulang kantor dengan muka berseri-seri.

"Jangan alihkan perhatian, duduk kamu." kata ayahnya, Haidar manyun. Siap-siap saja dapat kultum bonus ceramah berjam-jam kemudian.

"Berulah lagi?" ayahnya mulai menginterogasi.

"Engga,"

"Ngaku?"

"Iya,"

"Introspeksi dirinya apa kali ini?" ayahnya menatap si bungsu menunggu jawaban.

"Bangun pagi biar ngga telat, lebih teliti lagi supaya ngga kelupaan bawa tas ke sekolah." jawabnya sambil menunduk.

"Jangan diulangi," kata ayahnya.

"Iya," jawab Haidar lagi, "tapi ngga janji." tambahnya pelan, sangat pelan karena cuma dirinya dan Tuhan yang bisa mendengar.

"Dulu waktu jaman bapak sekolah, bapak bangun pagi-pagi sekali. Bantu ibu bapak dulu yang harus jualan ke pasar. Menyiapkan sayur-mayur yang harus dijual, mengantar ke pasar pakai sepeda ontel, lalu pulangnya lagi harus jalan kaki. Baru setelahnya bapak pergi ke sekolah, kamu udah sebesar ini coba dirubah. Contoh bapak dulu waktu sekolah, dulu bapak harus bersusah payah loh untuk berangkat sekolah. Kamu yang sudah dipermudah malah begini," pembukaan kultum baru saja dimulai.

From Me, the Sun [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang