44. UNKNOWN MAIL

5K 993 307
                                    

Matahari mulai menyingsing menunjukan jati dirinya di ufuk timur. Jejak embun semalam masih tertinggal di dahan pohon. Kupu-kupu bersayap putih dan kuning menari-nari di atas hamparan bunga petunia di halaman. Pagi yang cerah setelah hujan guntur semalaman.

Kartika membuka pintu kamar Haidar, hendak membangunkannya. Saat telapak tangannya menyentuh kening berkeringat milik Haidar, rasa hangat menyengat indera perabanya, anak itu masih demam tinggi. Niat awalnya yang ingin membangunkan paksa agar putranya itu segera bergegas bersiap ke sekolah pun urung. Sebaliknya, Kartika menyelimutkan kembali selimut Haidar. Biarlah si bungsu beristirahat lebih lama. Tidak masalah membolos sekolah, toh tidak akan membuat anaknya jadi bodoh.

Diam sesaat, Kartika tercenung. Kalau dilihat lamat-lamat, putranya satu ini kasihan sekali. Kartika merasa Haidar menanggung sesuatu yang teramat berat di bahunya. Beban yang tak kasat mata. Bungsunya yang malang, "Cepet sembuh sayang." Kartika mengecup pipi Haidar. Mengusap rambut legam anak itu berkali, berdoa sungguh-sungguh dalam hati semoga putranya selalu diberi kesehatan dan senantiasa dalam lindungan yang maha kuasa.

"Ibu sakit kalau kamu sakit, cepat sembuh, Nak." bisik Kartika pelan di telinga Haidar yang masih tertidur, sebelum kemudian pergi berlalu membiarkan Haidar beristirahat lebih lama. Raga dan jiwanya butuh waktu untuk sembuh.

"Nggak mau bangun anaknya?" tanya Herawan saat mendapati istrinya turun seorang diri tanpa membawa si bungsu turut bersamanya.

"Dibangunin juga enggak, nggak tega banguninnya. Demamnya masih tinggi, Haidar nggak usah sekolah lah. Hari ini libur aja." jawab Kartika sembari mengambil duduk di sofa seberang suaminya yang sedang membaca koran pagi. Ibu dua anak itu dengan gerakan cekatan menyingkap rambut panjang bergelombangnya yang sudah stand out sejak subuh tadi ke belakang bahu. Cantik itu butuh effort.

Setelah mendengar penuturan istrinya, Herawan melepaskan kacamata bacanya dengan sebelah tangan, menurunkan koran abu-abu yang sedang dibacanya sembari merubah posisi duduk menjadi tegak. Topik mengenai anak-anak selalu menjadi pembahasan penting yang menarik semua fokus perhatiannya.

"Demamnya belum turun?" tanyanya.

Kartika menggeleng, "Belum. Padahal dini hari tadi pas dicek udah turun."

Herawan berdiri, pria itu beranjak. "Bapak ke kamar Haidar dulu."

"Hm," Kartika mengangguk, lalu tangan kanannya menyambar koran pagi yang ditinggalkan Herawan di atas meja, "Kalau nanti anaknya bangun ajak turun sekalian buat sarapan, Haidar belum minum obat lagi sejak semalem."

Herawan menyanggupi, "Oke." balasnya singkat sambil menapaki tangga naik ke lantai dua menuju kamar putranya.

Jika anak sakit perasaan Herawan jadi tidak tenang. Ada rasa yang mengganjal di dadanya jika salah satu dari dua putranya jatuh sakit. Mungkin memang firasat seorang ayah. Atau entah dia yang terlalu panik dan mudah cemas. Tapi di dunia ini, orangtua mana yang suka melihat anaknya terbaring sakit? Tidak ada. Bahkan sudah sebesar apapun anaknya, jika mereka sakit, orangtua pasti merasa khawatir.

***

Pukul sembilan lebih seperempat. Herawan sudah berangkat ke kantor. Si sulung, Dion sudah berangkat ke kampusnya. Hanya ada si kecil di belakang rumah sedang menghibur diri karena putus cinta. Kartika membebaskan anak itu melakukan apa yang dia mau, terserah, selama bisa membuatnya terhibur.

Di ruang tengah Kartika duduk seorang diri sambil menyalakan perangkat laptop miliknya. Hanya ada secangkir kopi menemaninya. Banyak hal yang harus dia selesaikan. Salah satunya adalah aksi balas dendamnya. Meski butuh berhari-hari untuk menyiapkan rencana pembalasan yang sempurna, tapi tak apa, karena kesuksesan butuh upaya.

From Me, the Sun [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang