Bab 22

12.9K 912 15
                                        

Karina menggenggam telapaknya yang terbuka di atas knop. Mengurungkan niatnya membuka pintu kamar untuk melihat apa yang terjadi. Sebab suara baku hantam tadi tidak terdengar lagi. Apakah pertarungan dipindahkan keluar? Atau pertarungan itu telah selesai?

Namun jika demikian adanya, mengapa Andre tidak segera mengetuk pintu kamar tamu? Bukankah tadi seperti itu perjanjiannya? Sepertinya rasa penasaran telah mendorong Karina untuk membuka pintu kamar.

Derit pintu dibuka pun memecah kesunyian. Karina menyembulkan wajahnya dari balik daun pintu.

Hingga sebuah pemandangan terpampang di depan matanya.

Karina membelalakkan matanya, sementara mulut terbuka lebar. Napas perempuan itu terasa berhenti di tenggorokan menyaksikan pemandangan yang sangat memilukan hati. Andre terkapar di lantai ditemani tatapan mengejek dari Anton dan para algojonya.

Sungguh Karina tidak sampai hati melihatnya.

Merasa pintu kamar pintu dibuka, Anton menoleh pada Karina lalu melangkah pelan menuju pintu kamar tamu. Andre yang melihat hal tersebut, merayap mendekati kaki Anton dengan sisa-sisa tenaganya. Walau mulut dan hidung mengucurkan darah, muka penuh bengkak bekas pukulan, kemeja putih tulang yang dipenuhi bercak darah, Andre masih belum menyerah untuk melindungi Karina.

Semua keadaan Andre tidak luput dari perhatian Karina. Rasa iba pun menyeruak ke permukaan. Bahkan tanpa Karina sadari dari sudut matanya, lelehan air mata mulai turun ke pipi.

Dia tidak sanggup melihat Andre. Isak pelannya mulai terdengar. Sementara kepalanya menggeleng. Andre merayap sambil mendongakkan kepalanya menatap Karina. Kemudian lewat bibirnya dia berucap tanpa suara. "Masuk! Tutup pintunya!"

Karina menggeleng, isak tangisnya lebih kencang dari sebelumnya.

Sementara itu Andre berhasil menangkap kaki Anton, hingga langkah pria itu mendekati Karina pun terjegal. Melihat bos mereka jadi terhalang bergerak, salah satu pria algojo pun menarik kerah belakang Andre hingga dia berdiri lunglai di atas kakinya yang terasa lemah.

Pria algojo itu membalikkan tubuh Andre dengan sekali sentak. Kepalan tangannya sudah akan melayang pada wajah Andre, tapi pekikan Karina menghentikannya.

"Cukup! Cukup! Ja--ngan pu--kul lagi ...." Karina setengah memekik di antara suara isak tangisnya.

Kepalan pun mengudara. Algojo itu masih menahan pukulannya. Melihat algojo tersebut berhenti karena mendengar teriakan Karina, Anton pun berkata, "Jangan dengarkan dia! Pukul pria sombong yang sok hebat itu!"

Algojo itu pun kembali mengambil ancang-ancang untuk memukul wajah Andre tapi teriakan Karina yang lebih kencang dari sebelumnya kembali menghentikan gerakan pria berotot besar tersebut.

"Cukup! Aku bilang cukup! Jangan lagi pukul dia! Aku akan kabulkan keinginanmu. Surat itu kusimpan di suatu tempat. Tapi aku mohon jangan lakukan apa pun pada suamiku."

"Wow!" Anton bertepuk tangan sambil tersenyum sinis.

"Ternyata kalian saling mencintai, ya? Aku salut!" imbuh lelaki itu disertai tawa mengejek.

Aljogo tadi melepas cengkramannya dari kerah kemeja Andre, hingga lelaki itu pun luruh di lantai. Karina mendekat pada suaminya itu. Dijatuhkannya lutut ke ubin rumah, duduk bersimpuh di sebelah Andra yang sudah terkapar tidak berdaya. Karina menatapnya iba. Perempuan itu membantunya duduk.

"Ayo ba--ngun!" kata Karina dengan masih menangis.

Anton yang berdiri tidak jauh dari Karin dan Andre menatap pongah pada sepasang suami istri itu. "Andai kamu dari awal mau diajak kerja sama, hal seperti ini tidak perlu terjadi. Dan ingat besok aku akan menghubungimu untuk bertemu di sebuah tempat menyelesaikan urusan kita ini. Aku tidak main-main. Ingat itu! Kalo kamu ingkar janji. Suamimu ini akan kujadikan perkedel!"

Tidak lama kemudian Anton dan algojo tadi angkat kaki dari rumah Mina. Tinggallah Andre dan Karina.

Perempuan itu menolehkan kepala, menatap gamang suami dengan mata yang tengah mengatup rapat bersandar di dinding. Napasnya masih tampak terengah-engah. Karina kembali terisak membuat Andre membuka mata perlahan.

Melihat Karina menangis, ada sebagian hatinya yang tercubit. Dengan mengesot pelan, Andre mendekati Karina. Keduanya saling pandang dengan jarak yang sangat dekat. Andre menarik Karina masuk ke dalam dekapannya. Mengusap punggung sang istri penuh kelembutan.

"Kamu pasti takut tadi? Maaf aku datangnya telat ...." kata Andre lirih.

Karina menggeleng. "A--a--ku bu--kan takut sa--sa--ma mereka. A--a--aku ta--kut ngeliat kamu lu--ka gini," kata Karina terbata-bata.

"Nggak apa-apa. Laki tuh biasa berantem. Hmmm?" kata Andre berusaha menghibur meski dengan mulutnya yang terasa sakit.

Andre mengurai pelukannya. Mengusap air mata Karina dengan jempol kanannya.

"Jangan nangis lagi, ya?" kata Andre lembut.

Karina pun mengangguk.

"Kita ke kamar, ya? Aku papah?" kata Karina dengan suara yang terdengar cemas di telinga Andre.

"Enggak usah. Telpon tante aja," jawab Andre.

"Aku nggak punya nomornya. Aku aja yang obati, ya? Lagian kasian tante Sari malem-malem gini disuruh ke sini."

"Nggak apa-apa. Ogi bisa anterin ntar. Kamu pasti berat lagi hamil gitu---" dengan gerakan lemah Andre mengambil ponsel di dalam kantong celananya dan menyerahkannya pada Karina, "---nama tante di situ tante gokil."

Karina sempat tertegun mendengar perkataan Andre. Namun tak ayal hal itu dienyahkan dari pikirannya. Andre yang memang gokil menamai tantenya dengan gokil pula.

Karina menggeser layar ponsel Andre yang semula gelap. Begitu layar itu menyala, Karina tertegun dengan hati nyeri. Wallpaper ponsel sang suami berlatar gambar seorang wanita berhijab tengah tertawa dari samping. Tampaknya foto tersebut diambil diam-diam oleh empunya ponsel tersebut.

Mengenyahkan rasa nyeri itu, Karina pun menelusuri kontak telpon mencari nomor Sari.

Tidak lama kemudian Sari pun datang dengan raut kuatir yang terlihat sangat jelas.

"Ini baeknye kite bawa ke rumah sakit aje. Biar perikse ape ade yang kagak pas. Bonyok gini," usul Sari setelah mengobati Andre dengan bioplacenton.

Sari berdiri di sebelah ranjang Andre menatap keponakannya itu dengan rasa ngilu karena ikut larut bersama dengan apa yang dirasakan keponakannya itu. Sementara itu Karina duduk di ujung kasur dekat dengan betis Andre memandangi suaminya dengan wajah murung.

"Enggak usah, Tan. Aku nggak apa-apa, kok! Udah Tante tidur aja dulu. Istirahat. Kami juga mau istirahat. Tante jadi nginep 'kan?"

"Jadi. Oke, kalo gitu. Itu obatnye jangan lupa diminum. Oke?"

Andre mengangguk.

"Rin, aye ke kamar belakang dulu ye! Kalo ade ape-ape telepon aye. Jam berape aje, jangan sungkan buat nelpon, ye?" kata Sari.

Karina mengangguk lemah. Mata Karina mengekori Sari hingga keluar pintu kamar dan bayangan bibi Andre itu menghilang bersamaan dengan ditutupnya pintu.

Karina menolehkan kepalanya pada Andre. Lelaki itu memejamkan mata sementara lengan kanannya ditaruh di kening. Karina tersenyum getir melihat Andre.

Perempuan itu akhirnya bangkit dari kasur selang beberapa detik kemudian, mendekati Andre menatap wajah pucatnya lebih dekat.

Berdiri sebentar di sana, Karina pun akhirnya menyelimuti Andre, sebab pengatur ruangan yang dipasang sangat rendah agar Andre lebih cepat tidur.

Setelah menyelimuti Andre, Karina hendak memutar tubuhnya, namun dia merasa tangannya tertahan sesuatu hingga langkahnya pun terhenti.

Kira-kira kenapa ya langkah kaki Karina terhenti?

Jangan lupa bintangnya ya...
Terima kasih...

Ayah untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang