40

13.5K 973 21
                                    

Andre mengendarai mobilnya cukup kencang agar segera sampai ke markas Rohim, jawara betawi yang cukup disegani. Dia harus segera menuntaskan masalah rumah orang tua Karina. Tanpa bukti itu akan sulit meyakinkan Karina bahwa selamanya Anton tidak akan mengganggu mereka lagi. Jika bukti itu sudah di tangan, Anton akan berpikir ribuan kali untuk mengancam Karina atau pun Andre agar menyerahkan rumah orang tua Karina tersebut.

Dalam kesenyapan, hati lelaki itu merindu. Bayangan senyum, tawa, cinta dan kesenduan yang menghiasi wajah Karina membuat hatinya berdenyut pedih. Alangkah bodohnya dia yang tidak peka akan perasaan Karina padanya. Ah, tidak! Dia cukup bisa merasakan apa yang Karina rasakan.

Namun, dia tidak semudah itu percaya jika telah ada cinta di antara mereka. Bagaimana jika itu bukan cinta? Bagaimana jika dia salah menafsirkan hatinya dan hati Karina? Lalu salah memutuskan? Maka mereka berdua akan terjebak pada masa depan yang mungkin membuat sesak di dada karena ternyata cinta mereka tidak bersama.

Setelah mendengar penuturan Raka, Andre yakin sekarang ke mana harus melabuhkan hatinya.

"Hallo, Bang? Gimana?" tanya Andre saat menerima telepon dari Rohim.

"Lu ke sini deh, sekarang. Charli udah gua panggil. Sekitar sejam lagi dia nyampe. Lu dimana sekarang?"

"Di jalan, Bang."

"Ya udah, Lu ke sini dah!" titah Rohim.

"Oke, Bang."

Setelah makan siang di sebuah warung, Andre kembali melanjutkan perjalanannya menuju rumah Rohim. Jarak kantor Raka dan rumah mereka agak jauh. Butuh waktu sekitar sejam baru akan sampai. Sementara waktu yang dibutuhkan Andre sangatlah singkat. Mereka cuma punya waktu satu malam untuk menemukan pria itu.

Seseorang bernama Charli menyongsong datangnya Andre dengan wajah yang merendah. Pimpinan geng Kobra itu sangat takut pada Rohim pembina pencak silat khas Betawi.

"Bang, ini udah saya kumpulkan anak buah saya. Silakan Abang cek yang mana orangnya, Bang!"

Markas silat milik Rohim itu cukup besar hingga mampu menampung orang sebanyak itu. Ada seratus lebih pria berbadan kekar dengan tato kobra di lengan mereka. Wajah mereka juga seram. Andre harus memutar satu persatu dan meneliti serta memperhatikan dengan seksama lalu mencocokkan dengan gambaran ingatannya waktu itu. Rata-rata mereka memiliki paras seram yang sama dan rambut yang mirip.

"Lu inget nggak orang yang ada tatonya rambutnya modelannya gimana?" tanya Rohim pada Andre yang tengah memperhatikan seorang pria.

"Aku nggak inget, Bang. Apalagi waktu itu kejadiannya cepet banget. Belum waktu itu aku dipukulin jadi nggak inget, Bang."

"Ini bakalan sulit, Ndre," kata Rohim.

"Iya, Bang."

"Ndre, hari sudah sore. Gua masuk rumah dulu. Lu lanjutin ya. Kalo udah nemu orangnya Lu kasih tau Rojak. Biar Rojak bisa panggil gua. Dan Lu Charli sampai kita nemuin orang yang dimaksud Lu jangan kemana-mana, ngarti Lu?"

"Iya, Bang," jawab Charli dan Andre nyaris serempak.

Beberapa kali Andre mengitari pria yang jumlahnya mencapai ratusan itu hingga waktu terasa berjalan sangat cepat. Arloji di tangan Andre menunjukkan hari sudah melewati jam delapan malam. Namun, tampaknya mereka belum menuai hasil.

Charli yang juga sudah lelah dan mulai cemas, akhirnya memberikan ultimatum untuk anak buahnya.

"Kalian semua dengar! Kalian tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini kalo lelaki yang dimaksud abang ini tidak ditemukan. Sebaiknya kalian ngaku."

"Ndre, Lu yakin itu tatonya tato Kobra yang sama dengan punya mereka?" tanya Rohim.

"Yakin, Bang."

"Bukan apa-apa Ndre, takutnya kita salah cari orang. Waktu kita sia-sia kalo kita salah!"

"Ya, Abang benar."

"Masalahnya, Ndre anak buah Charli ini biasanya nurut-nurut, mereka tidak akan bergerak tanpa perintah Charli," imbuh Rohim.

Andre diam mendengar titah Charli pada anak buahnya. Pandangan suami Karina itu kembali dilemparkannya pada sekelompok orang berotot besar dengan wajah menakutkan itu. Mereka di sana terlihat sangat lelah dan tertekan. Ditambah mereka juga belum makan malam, karena Charli juga mengancam tidak akan memberikan jatah makan malam, jika belum ada yang mengaku.

Rohim dan Charli mungkin benar, mereka mencari di tempat yang salah. Awalnya Andre pun berpikir demikian. Setelah otaknya membenarkan bahwa gambar tato dari ratusan pria itu sama dengan tato penyerang malam itu, Andre Meyakinkan Rohim kembali.

"Bang, aku yakin gambar tatonya persis."

"Oke, kalo gitu," Rohim kemudian tampak berpikir.

"Charli ... Lu yakin ini semua anak buah Lu datang? Lu udah cek siapa tau ada yang nggak datang?"

Charli manggut-manggut. "Abang benar."

Sejurus kemudian Charli memanggil tangan kanannya untuk berbicara.

"Do, ada yang nggak masuk ini?" tanya Charli.

"Kayaknya semuanya masuk deh, Bang."

"Yakin, Lu? Emang siapa sih yang berani nerima job di luar perintah gua. Ya gini nih jadinya. Ribet kan. Kita jangan nantang yang bukan ranah kita. Berabe jadinya."

Tiba-tiba seorang pria dengan wajah takut-takut datang menghampiri.

"Bang, sebenernya gua tau sesuatu."

"Tau apa?" tanya Dodo kaki tangan Charli.

"Sebenernya Otong pernah nerima job dari seseorang bernama Anton."

"Apa?" tanya Andre yang berdiri tidak jauh dari mereka.

"Lho, Otong yang keluar itu?" tanya Dodo.

"Iya, Bang."

"Tadinya gua nggak yakin Otong yang ngelakuin itu. 'Kan ini wilayah Bang Rohim, mana berani dia. Cuma sebelum itu dia pernah cerita, bininya butuh uang buat operasi. Jadi dia nerima job dari luar. Nggak tau job apaan. Tapi, gua pikir kenapa dia harus keluar kalo emang job itu adalah job yang aman.

Sementara itu di waktu yang sama di tempat yang berbeda, Karina duduk termenung di ruang televisi. Sesekali kepalanya mendongak melihat jam dinding. Ibu hamil itu menanti pulangnya sang suami. Tidak biasanya dia pulang malam begini.

Kata-kata Andre yang menyiratkan bahwa lelaki itu akan pergi pun kembali terngiang-ngiang di telinganya. Perlahan kristal bening pun turun bebas membasahi pipi lalu menggantung di dagu.

"Dia ... di--a ... benar ... be--nar per--per--gi ...," lirih Karina sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan di antara isakan tangisnya yang tertahan.

Karina menyeret langkahnya menuju kamar, setelah meyakini bahwa Andre benar-benar pergi dari hidupnya. Membaringkan tubuh di kasur, bola mata Karina masih mengeluarkan bulir bening. Isakannya terdengar menyayat hati.

"Tidak bisakah kamu tinggal? Atau paling enggak kamu ucapkan kata perpisahan? Apa aku sama sekali tidak penting bagimu hingga pergi pun harus dengan cara seperti ini. Apa aku tidak pantas mengenang wajahmu meski untuk terakhir kalinya?"

Tangisan Karina sedikit lebih keras.

"Atau ... atau ... memang kamu tidak ingin melihatku lagi? Jijik pada gadis hina seperti aku? Ucapkan saja selamat tinggal, itu ... sudah cukup untukku. Aku cuma ingin menatap wajahmu untuk terakhir kalinya. Aku tidak akan memintamu untuk tinggal karena aku--aku--tau aku tidak ada di hatimu."

Malam itu dilalui Karina dengan hati yang pedih.

Komen dan bintangnya jangan lupa...

Makasih...

Ayah untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang