Bab 17

11.7K 897 21
                                    

Matahari merangkak naik kembali setelah menyembunyikan diri di balik cakrawala. Pagi yang sangat cerah walau hati terasa berdarah. Mendekam di rumah sakit jiwa sekian lama, ketika keluar sebuah kenyataan pahit meruntuhkan dunianya. Tante Mina pergi untuk selamanya.

Jika diingat-ingat, perjalanan hidupnya sungguh berliku. Ayah Karina pergi meninggalkan dia ketika masa remaja tengah memberi warna di hidupnya. Kehilangan sosok seorang ayah yang dibutuhkan masa-masa remaja seorang anak perempuan nyaris membuat Karina rapuh. Namun, beruntung saat itu sahabatnya, Rangga dan Ifan menjadi penghibur tersendiri untuknya. Hingga Karina nyaris tidak merasakan apa itu kehilangan.

Beranjak dewasa, dia juga harus merasakan kembali apa itu kehilangan. Satu-satunya orang tua yang tersisa, sang bunda juga pergi meninggalkannya bersama seorang ayah tiri yang mengkhianati cinta wanita yang melahirkannya itu. Kembali dia merasakan bumi seolah tidak dapat dia pijak.

Namun, kehadiran sahabatnya Rangga, George dan Shafa  mengembalikan jiwa hampanya sebab ditinggalkan oleh sang bunda. Setelah itu satu-satunya tumpuan hanya adik ibunya seorang. Namun, kepedihan kembali menghampiri. Bibinya pergi dalam kondisi tidak pernah menyaksikan dirinya sembuh. Sungguh ironi, bibinya meninggalkan dunia dalam keadaan hati yang berduka, sebab saat itu adik ibunya menjelang kematian hanya mengenang dirinya yang masih sakit. Pastilah Tante Mina merasakan lubang hitam menganga di dalam hatinya.

Pedih kembali menyayat hati ditinggalkan oleh yang tercinta. Namun di sinilah Karina merasakan cinta Yang Maha Kuasa terus menaunginya. Bibinya pergi, namun Tuhan tak pernah meninggalkannya dalam kesepian. Tante Sari dan suaminya, Andre menggantikan Mina menemani hari-harinya ke depan nanti. Harapan itu masih ada. Karina merasakan cukup dengan kondisinya hari ini. Berada bersama orang-orang yang dicintai dan mencintainya.

Uap yang mengepul di udara seiring bunyi desisan bumbu tumisan yang dihamburkan di dalam wajan menyapa indra pendengaran Andre yang tertidur di kamar ruang tengah rumah mereka. Kamar itu letaknya tidak jauh dari pantri, membuat suara orang yang tengah ada di sana dapat terdengar jelas.

"Masak apa?" sapa Andre pada Karina membuat perempuan itu berjengit kaget sebelum menoleh pada Andre yang tidak jauh dari tempatnya berdiri sementara spatulanya dibiarkan menggantung di udara.

"Hah? Oh sudah bangun?" Karina membalas pertanyaan suaminya dengan pertanyaan retoris.

"Hmmm."

Andre yang tengah menggulung kemeja putih gadingnya dengan rambut yang sudah dikuncir cepol sementara anak anak rambut menjuntai di atas pelipis membuat Karina terpukau pada ketampanan sang suami. Saking seriusnya Andre merapikan tangan kemeja yang terlipat itu, dia tak menyadari jika Karina tengah menatapnya penuh binar cinta.

Jemari besar itupun beralih merapikan baju yang sudah dimasukkan ke dalam celana sejak dari kamar tadi, sementara matanya bersibobrok dengan wanita cantik di hadapannya. Menyadari tatap penuh kasihnya ketahuan sang pemilik hati, Karina buru buru membalikkan tubuh kembali hendak berkutat dengan wajan dan kompor. Hatinya berderu-deru saking bahagianya.

Andre bukan tidak tahu makna tatapan itu. Mereka sudah sama sama dewasa, pastilah mengetahui apa itu cinta. Bahkan sikap dan cara pandang orang yang menyukai kita dapat dengan mudah ditangkap tandanya. Andre sadar, jiwa rapuh Karina mulai bersandar pada dirinya. Andre mendesah berat, jika begini bagaimana caranya agar Karina tidak terperosok terlalu dalam karena mencintainya. Sebab, Andre tidak akan bisa membalas cinta Karina. Di sudut hati, ada nama wanita lain yang sudah terpatri.

Dari belakang punggung repih itu, Andre memperhatikan gerak-gerik Karina yang terkesan tidak cekatan. Ayunan spatulanya sangatlah kaku. Tanpa sadar Andre tersenyum tipis, perempuan cantik itu berasal dari kalangan berada. Bahkan pernah menjadi direktur pemasaran sebuah perusahaan properti, aset peninggalan yang lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya, mengingatkan Andre bahwa latar mereka sangat bertolak belakang bagaikan bumi dan langit. Hal ini juga yang membuat Andre meyakini bahwa suatu hari nanti mereka akan terpisah dengan sendirinya, sebab mereka bukan berasal dari kalangan yang setara.

Harusnya perempuan ini bukan jadi tulang rusuknya. Harusnya dia mendapat lelaki yang jauh lebih baik darinya. Namun, keadaanlah yang menyebabkan perempuan itu terjebak bersama lelaki seperti dirinya. Suatu hari, Andre berharap Karina akan bertemu lelaki yang pantas untuknya, bisa menerima janin yang ada di rahim itu. Andre yakin, akan ada pria untuk Karina dan yang jelas itu bukanlah dirinya.

Sejurus kemudian, ibu hamil itu membawa kwetiau goreng dengan tampilan minyak yang mengkilat, tampaknya disebabkan oleh jumlah minyak yang dicampurkan lebih banyak dari biasanya. Andre tersenyum tipis. Usaha Karina menjadi sosok istri yang baik cukup mengesankan. Namun belum cukup mengesankan dirinya untuk kemudian membuka peluang bagi Karina memasuki hatinya. Bahkan mungkin tidak akan pernah.

Langkah Karina menuju meja membuat mata Andre mau tidak mau satu garis lurus dengan perut yang telah membuncit itu. Dada Andre mengembang sebab sesak. Janin itu salah satu sebab cinta Andre tidak akan berlabuh pada Karina. Janin itu milik lelaki lain dan harusnya lelaki itulah ada di tempatnya kini.

Karina duduk di kursi yang dipisahkan oleh meja makan besar di sana. Ditaruh menu sarapan pagi ini di atas piring yang kemudian disodorkan pada Andre dengan senyum yang selalu terulas. "Dicicipi ya? Krisannya dipersilakan setelahnya. Aku benar-benar belum pernah masuk ke dapur memasakkan sarapan."

Andre yang punya pengalaman bekerja di kafe, tentu dapat menilai masakan Karina. Saat satu suapan masuk ke dalam mulutnya, Andre tersedak. Pedasnya lada menusuk mencekat tenggorokannya.

Dengan sigap Karina menyodorkan gelas berisi air putih pada sang suami dan ditandaskan secara cepat.

"Kenapa?" Seraut penampakan yang mencemaskan dirinya terpampang di depan Andre.

"Ladanya kebanyakan," jawab Andre di sela sela dirinya mengelap mulut dengan tissue.

Karina tersipu dibuatnya. "Ah iya..., a--"

"Tak apa. Laen kali seujung sendok aja udah cukup. Lada fungsinya untuk menggurihkan saja," jelas Andre.

Seketika wajah Karina memendung. Suaminya tidak dapat sarapan dengan baik pagi ini. Sebuah penyesalan terbentuk mengakukan hati dan tubuhnya.

Andre menangkap raut sendu dari wajah cantik itu. "Aku akan bakar roti aja ya? Kamu juga jangan makan ini, nggak baik buat bayi di dalam sana."

Karina tak menjawab bahkan perempuan itu hanya tertunduk lesu.

Andre bangkit dari tempatnya duduk dan mulai berkutat dengan cekatan di depan kompor.

Sejurus kemudian dua buah piring roti bakar siap disantap.

"Hei ... jangan melamun. Ayo dimakan." Suara Andre menyadarkan Karina.

Ponsel milik Andre berdering. Lelaki itupun menerima panggilan dari seberang.

"Hallo? Ya Naila?"

Karina menghentikan kunyahannya seketika mendengar nama perempuan yang mampu membuat suaminya itu tersenyum hangat. Untuk apa perempuan itu menelepon bahkan di saat hari masih pagi? Tanpa sadar, wajah Karina memerengut.

"Oh, oke. Kita ketemu di sana, ya?" Andre dengan senyum sumringahnya mengakhiri panggilan jarak jauh itu.

Sejurus kemudian dia bangkit dari kursi. "Aku berangkat, ya."

"Hah? Nggak sarapan dulu?"

Andre menggeleng seiring dengan langkahnya yang mulai berlalu meninggalkan meja makan. Jawaban yang keluar dari bibir Andre 'nanti saja' terdengar menjauh dari tempat Karina duduk, dan pundak kokoh itupun melenyap di balik tembok pembatas ruang tengah dan ruang makan rumah mereka.

Karina bertanya-tanya siapakah sosok perempuan bernama Naila itu? Ada hubungan apa dia dan suaminya? Rasa cemburu mendominasi ruang hatinya kini.

Jangan lupa bintangnya ya...
Terima kasih....

Ayah untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang