46

12.6K 966 50
                                    

Rangga menaruh kedua telapaknya di pinggang sembari memandang tempat yang menjadi saksi peristiwa pilu yang dialami Karina.

"Aku terpikir untuk melanjutkan kasus pemerkosaan ini," cetus Rangga.

Andre menoleh pada Rangga.

"Aku setuju aja. Untung waktu itu dibuatkan surat visum, tapi apa surat itu masih berlaku?" kata Andre.

Rangga mengangguk. "Waktu itu Shafa yang meminta untuk dibuatkan visum. Terserah nantinya akan diteruskan atau tidak. Tapi yang jelas kalo udah dibikin, mudah saja andai perkara ini lanjut. Cuma sayang kami semua terpisah satu sama lain setelah itu. Mudah-mudahan masih bisa diteruskan kasus ini," sambung Rangga.

Andre mengangguk-anggukkan kepala mendengar penuturan Rangga.

"Tapi nanti kita harus bicarakan dengan Karina. Kadang korban pemerkosaan tidak mau diteruskan kasusnya karena malu atau pun beban psikis saat penyidikan hingga persidangan."

"Ya, bener banget. Nanti kita coba komunikasikan saja sama Karina," kata Rangga.

"Sebaiknya yang berkomunikasi kalian saja. Atau istrimu. Mungkin sesama perempuan dia mau lebih terbuka," imbuh Andre.

"Aku akan coba minta Shafa bicara dengan Karina."

"Tapi tidak dalam waktu dekat. Karina sedang persiapan melahirkan. Kasian dia kalo harus menjalani proses sementara perutnya tengah besar seperti itu."

Rangga manggut-manggut setuju.

Sejurus kemudian keduanya berpisah dan kembali ke rumah mereka masing-masing.

Saat tengah dalam perjalanan pulang ke rumah, nada dering khusus panggilan dari Karina di ponsel Andre berbunyi. Dengan sigap lelaki itu menerima sambungan telepon tersebut.

"Hallo?" kata Andre.

Sapaan dari Andre tidak dijawab oleh Karina. Suara yang didengar Andre dari seberang hanyalah suara desisan menahan sakit. Andre tahu terjadi sesuatu pada Karina.

"Rin, kamu kenapa?" tanya Andre setengah panik.

"Ssshhh ... a--aku ... a--aku ..., pe--perutku ... sa--sakit ba--nget ...." lapor Karina dengan suara terbata-bata.

"Kamu di mana? Di kamar? Atau di mana?" tanya Andre.

"Di ru--ang te--ngah ...," jawab Karina tersengal-sengal.

"Oke, tunggu aku. Kita ke rumah sakit sekarang. Teleponnya jangan dimatikan," titah Andre.

"I--iya ...."

Andre menekan pedal gasnya lebih dalam agar segera sampai ke rumah lebih cepat. Memasuki ruang tamu, dada Andre berdetak lebih cepat. Rasa cemas mengkungkung hati. Sepanjang perjalanan dia terus mengiangkan kata yang akan menenangkan Karina sebab dia sangat yakin jika Karina belum saatnya untuk melahirkan. Sesuai hitungan dokter, bulan depan Karina akan melahirkan.

Andre mendekati Karina yang tengah berbaring telentang sembari mengusap perutnya yang terasa sakit. Desisan sebagai tanda rasa sakit itu terdengar jelas di telinga Andre.

"Kita ke rumah sakit bersalin aja, ya?" kata Andre yang diiringi anggukan pelan Karina.

Andre menggendong istrinya menuju mobil dan membawa perempuan itu ke rumah sakit bersalin.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, desisan sakit dari bibir Karina kadang hilang kadang muncul. Andre sangat cemas melihatnya.

"Tahan ya ... sebentar lagi kita sampai."

Karina hanya mengangguk lemah.

Di pelataran parkir rumah sakit bersalin terdekat dari rumah mereka Andre kembali menggendong Karina dan membawanya dengan berlari.

Ayah untuk AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang