20 | Ayo Bertahan!

367 31 2
                                    

Part ini mungkin bikin booring karena menye-menye. Tapi kalo ga di up ada point yang bakal mempengaruhi part berikutnya.

Semalaman Awan terjaga, matanya seperti enggan untuk menutup. Melihat Evan dengan perempuan bersurai panjang membuatnya terus terfikir jahatnya lelaki itu saat mereka masih menjalin kasih.

Hari ini Awan ijin tidak masuk sekolah dulu, kepalanya seperti berputar perutnya juga sering terasa nyeri ㅡkalau kata google efek stress, Awan rasa juga begitu.

Awan hanya minta dibelikan obat pereda pusing ㅡitupun setelah diberi resep dari aplikasi berobat online. Kalau beli asal takutnya malah berbahaya bagi kandungannya. Awan memang tidak terima dengan kehamilan ini tapi membahayakan jabang bayi dengan sengaja awan tidak berani.

Hari sudah menjelang sore, Awan berusaha melepaskan dulu fikiran-fikiran yang membuatnya tertekan. Ia tidak boleh lemah, mengingat kondisinya yang sekarang.

Bunda setia menemani Awan di dalam kamar.

“ kaya ada suara bell ” Ujar Bunda lalu menaruh buku resep masakan yang sedang sebelumnya dibaca diatas kasur.

“ Raindra kali bun ” Kalau ayah atau Ka Arvin pasti langsung masuk. Kalau tidak Raindra siapa lagi yang bertamu tidak ingat waktu.

“ Bunda buka pintu dulu ”

Awan mengangguk membiarkan bundanya pergi untuk melihat siapa yang datang.

Tidak lama suara-suara yang tidak asing terdengar, semakin mendekat hingga pintu kamar terbuka dan menampakan dua orang dengan baju seragam sekolah yang berjalan mendekat.

“ Kan, gua bilang jangan difikirin ” Omel Raindra lalu menaruh sepelastik buah segar diatas kasur.

“ Sakit apa? Udah berobat? ” Esya meraih tangan Awan merasakan suhu tubuh perempuan itu.

“ Udah minum obat, pusing doang ”

“ Wa inget, kuat, lu harus kuat. Jangan mikirin apa-apa dulu sekarang. Prioritasin kesehatan lu, biar masalah-masalah yang itu lanjut nanti setelah lu sembuh ” Esya memberikan wejangan setelah duduk ditepian kasur.

Raindra yang tertarik dengan bahasan dua perempuan itu mendekat “ Masalah yang itu, apa? ”

“ Kepo, ini urusan perempuan ” Sungut Esya

“ Yaelah, gua doang. Ga sebar-sebar janji ”

Awan menatap nanar Raindra “ Lu perempuan Rai? ” tanyanya yang membuat Raundra menggeleng sepontan.

“ Gaasik kalian ”

Awan dan Esya sama-sama menggeleng heran. Hingga pintu kamar yang tadinya tertutup kembali terbuka dan menampakan bunda yang sedang membawa nampan dengan minuman dan beberapa makanan.

“ Wahh,,, jadi enak ” Ucap Esya setelah bunda menaruh nampan diatas meja belajar.

“ Sya, Rai nanti diminum ya, makanannya juga makan ” Ucap bunda.

“ Mauu ”

“ Ga boleh, itu es. Nanti aja kalo udah sembuh ” Sambung bunda, Awan hanya mempoutkan bibirnya. Padahal enak saat badan sedang hangat minum yang dingin.

“ Oh ya. Tadi Bunda ketemu mama, katanya Raindra diauruh pulang dulu soalnya ada sodara main kerumah ”

“ Emang belum sampe rumah? ”

Raindra cengengesan “ Belum bun ”

“ Gih pulang dulu. Nanti balik lagi kesini ”

Raindra mengambil tas sekolahnya yang diletakan diatas nakas, mencium punggung tangan bunda “ Rai pulang dulu ya bun. Gua balik, makan obat lu ” Lanjutnya setelah menoleh pada Awan.

“ Sana-sana pulang ” Usir Awan yang sebenarnya hanya becandaan tali Raindra seperti menganggap serius dan pergi begitu saja keluar dari kamar Awan.

“ Bunda juga mau keluar sebentar  ” Ucap Bunda lalu keluar dari kamar menyusul Raindra yang terlebih dulu berjalan keluar.

Esya lalu menutup pintu kamar, memberikan segelas es jeruk pada Awan “ Nih, obat ”

Awan mengambil segelas air dingin itu lalu meneguknya “ Ahh ㅡ seger ” memang cuma Esya yang begini setiap kali ia sakit.

“ Gimana? Udah ada perkembangan? ” Tanya Esya membuat Awan sedikit bingung. Awal bilang jangan difikirkn dulu tapi sekarang malah ditanya.

“ Lu liat aja sendiri ” Awan memberikan kunci ruang investigasi pada Esya. Perempuan dengan surai keriting itu lalu berjalan menuju pintu rang investigasi ㅡ membuka kunci dan masuk kedalamnya.

Awan juga mengikuti. Tapi biarkan Esya memahami petunjuk yang sudah Awan kumpulkan dan catat di tembok yang sebelumnya mereka buat.

“ Evander! ” Teriak Esya setelah meahami petunjuk yang ada, jarinya menujuk nama Evan yang berjajar disebelah nama Raegan yang sudah tercoret spidol merah.

“ Serius? Anjir kok?! Mantan lu Wa ”

“ Jangan-jangan lu sakit karena mikirin Evan?! ”

Awan bersandar di sandaran kursi “ Iya, tapi ngga juga ”

“ Gua takut aja, kalo ternyata Evan ayah dari anak yang lagi gua kandung. Lu tau sendiri berengseknya orang itu ”

Esya sudah tau tau bagaimana berengseknya Evander. Si playboi yang belum juga tobat. Ia masih mengingat bagaimana Awan dibuly oleh pacar Raegan dan Evan malah seru dengan perempuan lain bukannya menolong.

“ Jangan sampai. Tapi lu juga harus dapet petunjuk dari dia Wa. Coba nanti lu tanya, atau ngga gua aja yang tanya ”

“ Biar gua aja ”

Esya menarik kursi ikut duduk didekat Awan. Bibir pucat dan mata sayu masih menghiasi wajah perempuan blasteran tiongkok itu. 

“ Sya ”

Esya berdehem sambil menoleh pada Awan.

“ Kadang gua ngerasa cape banget. Pengen ngakhiri ini semua ”

Esya sontak menarik kedua pundak Awan agar menghadap padanya “ Eh eh syutt... Sini peluk dulu ” lanjut Esya lalu merentangkan tangannya.

Awan menyambut pelukan itu, Esya mengelus punggung Awan pelan-pelan. Wajar merasa lelah dan ingin menyerah. Semua orang pernah berada di posisi yang sama walau dengan masalah yang berbeda.

Esya berusaha menjadi pendengar yang baik, menjadi sandaran Awan saat lelah,  dan membantu mencari jalan terbaik.

“ Ada gua disini wa... ”

“ Awan! Esya! ”

Teriak bunda yang sepertinya sedang berada di tangga, Esya dan Awan sontak melepaskan pelukan dan berlari terburu buru keluar dari dalam ruang investigasi. Esya mengkunci ruang itu lalu menyusul Awan duduk diatas kasur.

Pintu terbuka, bunda memunculkan kepalanya dibalik pintu “ Kenapa? ” dua orang yang ada diatas kasur malah sedang memperhatikannya smbil senyam-senyum terpaksa.

“ Ga apa bun? Ada apa manggil Awan sama Esya? ” 

“ Ayo turun, ayah bawa makanan kesukaan kamu ”

Awan dan Esya turun dari atas kasur dengan raut muka yang tidak berubah. Bunda merasa aneh namun memutuskan tidak menghiraukan dan pergi terleboh dulu ke dapur.

Setelah bunda sedikit menjauh Awan dan Esya menghembuskan nafas panjang bersama. Seperti menahan nafas saat bunda tiba-tiba memanggil ㅡuntung saja belum sampai masuk kedalam kamar. Kalau tidak nanti malah di intograsi dan kepo dengan ruangan kosong yang berubah menjadi ruang investigasi itu.

“ Jantung gua berasa pindah ke usus duabelas jari, anjir ” Ucap Esya pelan membuat Awan tertawa mengingat mengingat kepanikan mereka saat di dalam tadi.

“ Gua juga. Tangan gua masih gemeter ” Awan menunjukan tangannya yang benar bergetar karena panik.

Hal itu membuat Esya tertawa terbahak “ Tremor anjir! ”

T B C




The Missing Puzzle Piece ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang