Satu

9.3K 1K 210
                                    

Sebelumnya, aku mau bilang kalau Bab Prolognya ada perubahan. Sebaiknya kalian baca dulu, ya... HAPPY READING!

Btw, bantuin cek typo ya... 🙏🏻






















Luna membuka pintu bagasi mobilnya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak yang berukuran lumayan besar dari sana dan dia tampak kesulitan. Suara decakan kuat terdengar dari belakang tubuhnya, saat Luna menoleh, dia melihat adiknya, Dika, menatapnya dengan wajah kesal.

"Udah tahu berat, bukannya minta tolong," rutuk Dika. "siniin, Kak, biar aku aja yang bawa."

Luna membiarkan Dika mengambil alih kotak itu. Sambil tersenyum tipis, dia mengamati Dika yang masuk ke dalam rumah lebih dulu. Adiknya itu masih saja kesal padanya sejak Luna memutuskan untuk pindah dari rumah mereka dan tinggal di rumahnya sendiri.

Saat Luna menyampaikan keinginannya untuk keluar dari rumahnya, orangtua dan adiknya sama sekali tidak setuju. Mereka takut Luna masih meratapi kesedihannya pasca perceraian itu. Tapi Luna mengatakan kalau dirinya sudah baik-baik saja.

Satu tahun sudah berlalu, Luna merasa bisa meyakinkan keluarganya jika dia sudah benar-benar sembuh meski sejujurnya dia belum berhasil melakukannya. Terlalu banyak luka yang dia terima maupun luka yang dia perbuat sendiri. Dan Luna tahu dia masih membutuhkan waktu lebih banyak lagi untuk benar-benar sembuh.

Masalahnya, jika dia terus menerus berada di rumah san menemukan tatapan sedih dan iba keluarganya, Luna hanya akan terus merasakan kesakitan. Karena itu, dia sekuat tenaga untuk terlihat baik-baik saja di depan mereka semua, agar Luna memiliki alasan untuk keluar dari rumah orangtuanya, dan menyendiri, sembari menyembuhkan lukanya, dan memahami perasaannya atas semua masalah yang selama ini menyelimutinya.

Luna menarik napasnya berat dan menghembuskannya perlahan sembari mengamati rumahnya. Bibirnya tersenyum kecil seraya dia bergumam di dalam hati. Semoga rumah ini bisa memberikan ketenangan yang aku butuhkan.

Ketika Luna menutup pintu bagasi mobilnya dan ingin melangkah pergi, tiba-tiba saja pagar rumahnya berderit, dan saat Luna menoleh ke belakang, dia menemukan seorang bocah kecil berlari masuk melewati pagar rumahnya, kemudian bersembunyi di balik tembok di samping pagar.

"Hei..." tegur Luna.

Bocah kecil itu meletakan telunjuknya di depan bibir, kemudian kepalanya menggeleng pelan. Luna mengerjap bingung, kini matanya memandangi bocah kecil itu. Dua bola matanya yang bulat nan tajam itu menatap lekat pada Luna, seolah meminta Luna untuk menganggukan kepalanya. Namun Luna tidak melakukannya.

Tidak lama berselang, dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan berlarian dan berhenti tepat di depan rumah Luna. Ketiganya tampak tersengal sambil celingungan.

"Kemana sih dia?!"

"Ngeselin banget deh!"

"Awas aja kalau ketemu!"

Salah satu dari mereka menoleh ke samping, menatap pada Luna yang sejak tadi hanya diam terpaku. "Tante, ada lihat Darel lewat di sini nggak?" tanya anak perempuan itu.

"Darel?" ulang Luna ragu. Ketiga anak itu mengangguk serentak. "Darel... siapa, ya?"

"Itu, Tante, Darel yang nakal banget itu!"

"Eh, kayanya Tante ini orang baru deh, mana mungkin tahu siapa Darel."

"Oh, iya."

LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang