Suasana dipemakaman itu begitu sendu ketika tiga anggota keluarga Luna selesai dimakamkan. Orang-orang yang tadi hadir mengikuti prosesi pemakaman, kini mulai beranjak pergi satu persatu, menyisakan Luna bersama Freya, Gembul dan juga Darel. Serta keberadaan Raja, Nadine, Arjuna, Prita, Abi dan juga Gisa di sana.
Dari atas kursi rodanya, Luna masih terus menerus menatap tiga gundukan tanah dihadapannya. Air mata tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Sejak dia mendengar kabar kematian keluarganya, sejak dia melihat jenazah keluarganya, Luna tak lagi bisa menghitung sebanyak apa dia menangis.
Semuanya begitu tiba-tiba, Luna bahkan tak sempat memberikan pelukan perpisahan. Justru sebaliknya, disaat-saat terakhir kebersamaan yang mereka miliki, Luna memiliki setitik rasa marah pada keluarganya karena keputusan mereka.
Dan sekarang... Luna ingin kembali ke waktu itu. Dia ingin memeluk Mamanya, dia ingin menggenggam jemari Papanya, ingin melihat senyuman adiknya. Tak apa jika itu untuk yang terakhir kalinya, Luna ikhlas... asalkan dia benar-benar diberikan kesempatan itu.
Karena setelah ini dan seterusnya, dia tidak lagi memiliki kesempatan berharga itu.
Bukan hanya satu. Luna bukan hanya kehilangan satu keluarga, melainkan seluruh keluarga yang dia miliki. Keluarga yang selalu menjaganya, berada disisinya disetiap keadaan terburuk yang Luna miliki.
"Pernah Mama meninggalkan Kakak sendirian? Pernah Mama membiarkan Kakak sendirian? Ada Mama, Kak. Ada Mama yang akan selalu menemani Kakak. Mama janji, Mama akan selalu menemani Kakak dan memastikan Kakak baik-baik aja. Selama Mama masih bernapas, Mama akan selalu menjaga Kakak. Apa pun yang terjadi, sesulit apa pun itu, Mama nggak akan pernah membiarkan Kakak sendirian."
Luna terisak, bahunya berguncang hebat manakala dia kembali teringat kalimat yang Mamanya ucapkan padanya beberapa waktu lalu.
Mamanya benar-benar menepati janjinya, karena bahkan disisa waktu yang Mamanya miliki, disisa napasnya, Mamanya tetap melindungi Luna.
"Mama..." isakan Luna menderas. Tubuhnya seolah ingin beranjak menghampiri gundukan tanah itu. Luna ingin memeluknya, Luna ingin menangis di atasnya.
Freya menggigit bibirnya getir matanya memerah menahan tangis. Satu tangannya mencoba menahan tubuh Luna yang masih lemah. Gembul menundukkan wajahnya dalam, ada kesedihan yang begitu jelas di wajahnya.
Lalu Darel... dia menepati janjinya. Dia terus berada di samping Luna, menggenggam jemari Luna, menahan air matanya mati-matian agar tidak menambah kesedihan Luna.
Sementara itu, di tempatnya, Nadine dan Prita saling terisak sedih. Mereka memandangi Luna dengan air mata yang tak kunjung mereda.
Sejak mendengar kabar mengerikan itu, Nadine tak mengatakan sepatah kata pun. Bahkan menangis pun tidak. Dia hanya diam dan menuruti permintaan Gisa untuk menemani Raja hadir dipemakaman keluarga Luna.
Gisa bilang, bagaimana pun, dulu Raja pernah menjadi bagian dari keluarga mereka. Mereka pernah menjadi orangtua Raja, maka Raja harus memberikan penghormatan terakhir pada jasad orangtua Luna.
Hanya saja, begitu dia tiba di pemakaman, dan melihat Luna untuk yang pertama kalinya setelah sekian lama, Nadine merasa hatinya begitu sesak.
Tangisan Luna, tatapannya yang kosong, ratapannya, dan sekarang... raungannya, semua itu membuat Nadine seolah bisa merasakan kehancuran yang sama.
Seperti Raja yang pernah memiliki kenangan indah bersama keluarga Luna, jauh sebelum Raja hadir di hidupnya, Nadine sudah lebih dulu memiliki kenangan indah itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
Ficção GeralPasca perceraiannya, Luna memilih untuk menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan mantan suaminya. Termasuk juga sahabat-sahabatnya. Luna hanya ingin melupakan, tidak lagi menoleh ke belakang sekalipun dia tahu jika dia tidak akan sembuh denga...