Darel baru saja selesai belajar bersama Luna. Dan kini bocah itu sedang merapikan meja belajarnya sementara Luna masih mengamatinya. Ada yang sedikit berbeda dari Darel hari ini, dia sering terlihat melamun dan tidak fokus, hingga Luna mempersingkat waktu belajar mereka.
"Kamu kenapa?" tanya Luna. Mereka berdua duduk berhadapan di antara meja belajar lipat milik Darel.
Darel melirik Luna sejenak, kemudian menggeleng singkat.
Luna tersenyum tipis, lalu tangannya menyentuh puncak kepala Darel, mengusapnya lembut. "Kalau ada sesuatu yang mengganggu di sini," lalu berpindah ke dada bocah kecil itu. "dan di sini. Kamu bisa cerita ke Tante, Rel. Mungkin aja Tante bisa bantu kamu."
Mendengar itu, Darel akhirnya mau menatap Luna sepenuhnya. Cukup lama dia hanya menatap Luna tanpa mengatakan sepatah katapun hingga akhirnya dia menghela samar. "Aku mau ketemu sama Papa."
Luna mengernyit. Aneh sekali, pikirnya. Baru saja beberapa jam yang lalu Erick mengantar Darel ke sini, lalu mengapa tiba-tiba saja Darel ingin bertemu Erick lagi. "Papa kamu kan lagi kerja, sayang."
"Tapi aku mau ketemu sama Papa."
"Kenapa? Hm, tadi pagi juga masih bareng sama Papa, kan?"
Darel mengulum bibirnya pelan, sorot matanya terlihat berbeda, seperti sedang memendam sesuatu yang sulit untuk Luna baca, hingga Luna mengamati kedua bola mata milik Darel dengan begitu lekat, berharap Darel akan mengutarakan apa yang sedang mengganggu pikirannya saat ini.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Darel menghela napasnya dengan cara yang begitu frustasi. Kepalanya menggeleng pelan, "Lupain aja." Ujarnya setengah menggumam. Lalu dia kembali menyimpan peralatan belajarnya. Hanya saja, wajahnya sedikit murung kali ini.
Sejujurnya, Luna masih sangat penasaran dengan alasan Darel yang tiba-tiba saja ingin menemui Papanya, dan bersikap seaneh ini hanya karena hal itu. Mengingat betapa seringnya Darel dan Erick bertengkar setiap bertemu, dan betapa Darel sulit sekali bersikap manis selayaknya anak seusianya, Luna tak percaya jika sikap aneh Darel berasal dari rasa rindunya terhadap Erick.
Hanya saja, Luna tak ingin mendesak Darel untuk mengutarakan apa yang sedang dia rasakan.
"Oke, kalau gitu, sekarang kamu udah bisa nonton TV, Tante siapin cemilan buat kamu dulu." Ujar Luna. Dia sudah beranjak berdiri ketika tiba-tiba saja Darel memangilnya.
"Tante."
"Ya?"
"Aku boleh telefon Papa, nggak?"
Luna mengerjap, menatap wajah Darel dimana bocah lelaki berwajah dingin itu hanya menatapnya dengan tatapan tenang yang kelam. "Boleh. Sebentar, ya." ujar Luna yang setelah itu menghubungi Erick melalui ponselnya. Tapi sayangnya, Erick tidak bisa dihubungi. "hm, nomer Papa kamu nggak aktif, Rel. Mungkin Papa lagi sibuk—"
"Kerja." Sahut Darel cepat. Hanya saja, dahinya tampak sedikit mengernyit. "Papa selalu pergi kerja, hampir setiap hari. Tapi, nomernya akan selalu nggak aktif, setiap kali... Papa pergi dengan wajah panik." Darel tersenyum tipis, lalu menggedikkan bahunya.
Dari cara Darel berbicara, Luna seperti menemukan sebuah kekhawatiran yang sedang dirasakan oleh Darel. Bocah kecil ini... sepertinya sedang mencemaskan Papanya, namun dia tak mengerti bagaimana cara mengutarakannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
Fiksi UmumPasca perceraiannya, Luna memilih untuk menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan mantan suaminya. Termasuk juga sahabat-sahabatnya. Luna hanya ingin melupakan, tidak lagi menoleh ke belakang sekalipun dia tahu jika dia tidak akan sembuh denga...