Luna duduk bersila di atas sofa. Ada sebuah laptop di atas pangkuannya. Matanya terlihat sangat serius menatap layar laptop itu sedang jemarinya bergerak kesana kemari di atas keyboard.
Sejak tadi, yang Luna lakukan di laptop itu adalah mencari media sosial Erick maupun informasi kekasihnya itu. Namun Luna tak menemukan apa pun.
Luna tidak tahu mengapa sejak dia menemukan belasan pisau dan bercak darah di laci meja Erick, perasaannya mendadak tak tenang.
Merasa mulai lelah dan tidak menemukan apa pun, Luna menghela napasnya berat dan menyandarkan kepalanya ke belakang. Matanya menatap langit-langit dengan tatapan sendu. "Mungkin aku cuma kelewat overthingking." Gumamnya pelan. Lalu ketika dia menegakkan kepalanya lagi, bibirnya tersenyum kecil. Luna menggelengkan kepalanya pelan. Kini jemarinya bergerak membuka youtube, mencari video-video menarik yang bisa dia nikmati.
Tanpa sengaja, dia menemukan sebuah video yang baru saja di unggah beberapa hari lalu. Video yang membahas mengenai Malvori. Luna memicingkan matanya sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk menontonnya.
Sejak awal, Luna memang lumayan tertarik dan penasaran dengan kasus yang selalu disangkut pautkan pada sekelompok Gengster yang bernama Malvori ini. Itu kenapa Luna terlihat serius menyaksikan video tersebut.
Sampai ketika video itu menayangkan sebuah sketsa wajah yang diduga seorang anggota Malvori yang paling dicari, Luna seolah terpaku memandangi sketsa itu. Sketsa wajah itu tidak terlihat seutuhnya, hanya dahi, dan kedua matanya saja yang terlihat karena saksi yang merupakan seorang Polisi itu hanya melihat setengah wajahnya saja.
Semakin lama Luna mengamatinya, maka semakin jelas pula kerutan di dahinya. Luna merasa kalau dia pernah melihat wajah itu sebelumnya.
Benar. Luna memang pernah melihat sketsa wajah itu di televisi sebelumnya. Tapi Luna merasa kalau dia pernah melihat kedua mata itu sebelumnya, bahkan jauh sebelum dia melihat sketsa itu.
Tapi dimana?
Luna masih terus menatap sketsa itu hingga tanpa dia sadari, sesuatu melintas di kepalanya.
Beberapa waktu lalu, di rumah ini, Luna pernah melihat kedua mata itu. Mereka tampak serupa. Benar-benar serupa. Saat itu sedang mati lampu, Luna tak bisa melihat wajahnya dengan jelas sampai sinar dari luar rumah yang menerobos pentilasi mengenai setengah wajahnya.
Dua bola mata itu... tatapannya... amat sangat serupa.
Kini kedua mata Luna mendadak gamang. Wajahnya menegang hebat dan jemarinya yang berada di atas keyboard mulai gemetaran.
"Nggak mungkin," gumam Luna parau. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Mengusir setitik kebenaran yang mulai menghampirinya. "Nggak. Aku pasti salah. Ini cuma kebetulan. Benar, ini pasti cuma kebetulan."
Luna terus menerus menggumam, seolah-olah gumaman itu akan memantrainya dari rasa panik dan juga takut. Namun setiap kali kilasan itu menghampirinya, maka semakin kuat pula dugaan itu bertahta di hati Luna.
Hanya saja, Luna bersikeras menampiknya. Dan demi memastikannya lebih jelas, Luna menyingkirkan laptop itu dari atas pangkuannya, berlari cepat memasuki kamarnya untuk mengambil ponsel. Luna mencari foto Erick di sana. Meski tak banyak, namun ada beberapa.
Luna kembali berlari ke ruang televisi. Dia tak lagi duduk di atas sofa, melainkan bersimpuh di depannya. Luna memutar tayangan video itu hingga menampilan sketsa wajah itu lagi, kemudian dia menekan tombol pause. Lalu dengan tangan gemetar, Luna menyandingkan ponselnya di samping sketsa wajah itu. Satu tangannya yang lain menyusul, menutup setengah wajah Erick.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luna
Fiksi UmumPasca perceraiannya, Luna memilih untuk menjauh dari segala hal yang berhubungan dengan mantan suaminya. Termasuk juga sahabat-sahabatnya. Luna hanya ingin melupakan, tidak lagi menoleh ke belakang sekalipun dia tahu jika dia tidak akan sembuh denga...